BERMACAM cara orang mengiklankan dirinya kepada publik untuk berbagai motif dan tujuan. Paling lazim adalah untuk “memenangkan” kompetisi menarik hati rakyat dalam kontes perebutan kepemimpinan politik.
Menyebutkan prestasi, nasab atau geneologi keluarga, stratifikasi sosial, kelompok/organisasi dan pengungkapan janji adalah cara yang sangat umum dipakai. Ada yang berhasil meraih simpati publik walaupun akhirnya harus mengecewakan mereka karena ketidaksesuaian harapan yang dibentuk oleh iklan dirinya dengan kenyataan.
Ada pula yang awalnya tidak berhasil karena kalah perang iklan, namun pada masa berikutnya terpilih karena kontinyuitas attitude positif yang dibangun sesuai dengan iklannya yang sederhana dan apa adanya. Ada pula yang tidak pernah berhasil karena tidak mengiklankan diri.
Iklan adalah kata serapan dari bahasa Arab i’lan yang bermakna mengumumkan. Namun, tidak semua iklan itu mengumumkan secara jujur apa adanya, seringkali telah mengalami sentuhan make up dan mark up yang merekayasa sesuatu lebih dari apa yang sesungguhnya.
Inilah yang me”nyihir” masyarakat publik untuk terkesima pada awal perkenalannya untuk kemudian kecewa dan patah hati di persimpangan jalan berikutnya. Kemampuan rasio masyarakat terhijabi untuk melihat yang sesungguhnya, dan baru tersadar ketika fakta kontradiktif menyeruak ke media massa menjadi perbincangan yang memilukan.
Adalah fakta empiris bahwa ada partai politik yang menyuarakan jargon anti-korupsi tetapi banyak oknum-oknumnya yang diproses hukum kasus korupsi. Juga lembaga yang menyuarakan keadilan hukum ternyata banyak memiliki oknum terlibat kasus ketidakadilan hukum.
Demikian pula wakil rakyat dan pemimpin yang berkampanye tentang kesejahteraan rakyat tapi tertangkap tangan kasus suap dan lainnya. Padahal pekerjaan aslinya adalah hanya menyejahterakan dirinya dan keluarganya. Akhirnya, iklan yang disampaikan di berbagai media mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat.
0 komentar:
Catat Ulasan