This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Ahad, Jun 26

DIALOG GUS DUR DAN SANTRI

Santri : "Ini semua gara-gara Nabi Adam, ya Gus!"
Gus Dur : "Loh, kok tiba-tiba menyalahkan Nabi Adam, kenapa Kang."
Santri : "Lah iya, Gus. Gara-gara Nabi Adam dulu makan buah terlarang, kita sekarang merana. Kalau Nabi Adam dulu enggak tergoda Iblis kan kita anak cucunya ini tetap di surga. Enggak kayak sekarang, sudah tinggal di bumi, eh ditakdirkan hidup di Negara terkorup, sudah begitu jadi orang miskin pula. Emang seenak apa sih rasanya buah itu, Gus?"
Gus Dur : "Ya tidak tahulah, saya kan juga belum pernah nyicip. Tapi ini sih bukan soal rasa. Ini soal khasiatnya."
Santri : "Kayak obat kuat aja pake khasiat segala. Emang Iblis bilang khasiatnya apa sih, Gus? Kok Nabi Adam bisa sampai tergoda?"
Gus Dur : "Iblis bilang, kalau makan buah itu katanya bisa menjadikan Nabi Adam abadi."
Santri : "Anti-aging gitu, Gus?"
Gus Dur : "Iya. Pokoknya kekal."
Santri : "Terus Nabi Adam percaya, Gus? Sayang, iblis kok dipercaya."
Gus Dur : "Lho, Iblis itu kan seniornya Nabi Adam."
Santri : "Maksudnya senior apa, Gus?"
Gusdur : "Iblis kan lebih dulu tinggal di surga dari pada Nabi Adam dan Siti Hawa."
Santri : "Iblis tinggal di surga? Masak sih, Gus?"
Gus Dur : "Iblis itu dulunya juga penghuni surga, terus di usir, lantas untuk menggoda Nabi Adam, iblis menyelundup naik ke surga lagi dengan berserupa ular dan mengelabui merak sang burung surga, jadi iblis bisa membisik dan menggoda Nabi Adam."
Santri : "Oh iya, ya. Tapi, walau pun Iblis yang bisikin, tetap saja Nabi Adam yang salah. Gara–garanya, aku jadi miskin kayak gini."
Gus Dur : "Kamu salah lagi, Kang. Manusia itu tidak diciptakan untuk menjadi penduduk surga. Baca surat Al-Baqarah : 30. Sejak awal sebelum Nabi Adam lahir… eh, sebelum Nabi Adam diciptakan, Tuhan sudah berfirman ke para malaikat kalo Dia mau menciptakan manusia yang menjadi khalifah (wakil Tuhan) di bumi."
Santri : "Lah, tapi kan Nabi Adam dan Siti Hawa tinggal di surga?"
Gus Dur : "Iya, sempat, tapi itu cuma transit. Makan buah terlarang atau tidak, cepat atau lambat, Nabi Adam pasti juga akan diturunkan ke bumi untuk menjalankan tugas dari-Nya, yaitu memakmurkan bumi. Di surga itu masa persiapan, penggemblengan. Di sana Tuhan mengajari Nabi Adam bahasa, kasih tahu semua nama benda. (lihat Al- Baqarah : 31).
Santri : "Jadi di surga itu cuma sekolah gitu, Gus?"
Gus Dur : "Kurang lebihnya seperti itu. Waktu di surga, Nabi Adam justru belum jadi khalifah. Jadi khalifah itu baru setelah beliau turun ke bumi."
Santri : "Aneh."
Gus Dur : "Kok aneh? Apanya yang aneh?"
Santri : "Ya aneh, menyandang tugas wakil Tuhan kok setelah Nabi Adam gagal, setelah tidak lulus ujian, termakan godaan Iblis? Pendosa kok jadi wakil Tuhan."
Gus Dur : "Lho, justru itu intinya. Kemuliaan manusia itu tidak diukur dari apakah dia bersih dari kesalahan atau tidak. Yang penting itu bukan melakukan kesalahan atau tidak melakukannya. Tapi bagaimana bereaksi terhadap kesalahan yang kita lakukan. Manusia itu pasti pernah keliru dan salah, Tuhan tahu itu. Tapi meski demikian nyatanya Allah memilih Nabi Adam, bukan malaikat."
Santri : "Jadi, tidak apa-apa kita bikin kesalahan, gitu ya, Gus?"
Gus Dur : "Ya tidak seperti itu juga. Kita tidak bisa minta orang untuk tidak melakukan kesalahan. Kita cuma bisa minta mereka untuk berusaha tidak melakukan kesalahan. Namanya usaha, kadang berhasil, kadang enggak."
Santri : "Lalu Nabi Adam berhasil atau tidak, Gus?"
Gus Dur : "Dua-duanya."
Santri : "Kok dua-duanya?"
Gus Dur : "Nabi Adam dan Siti Hawa melanggar aturan, itu artinya gagal. Tapi mereka berdua kemudian menyesal dan minta ampun. Penyesalan dan mau mengakui kesalahan, serta menerima konsekuensinya (dilempar dari surga), adalah keberhasilan."
Santri : "Ya kalo cuma gitu semua orang bisa. Sesal kemudian tidak berguna, Gus."
Gus Dur : "Siapa bilang? Tentu saja berguna dong. Karena menyesal, Nabi Adam dan Siti Hawa dapat pertobatan dari Tuhan dan dijadikan khalifah (lihat Al-Baqarah: 37). Bandingkan dengan Iblis, meski sama-sama diusir dari surga, tapi karena tidak tobat, dia terkutuk sampe hari kiamat."
Santri : "Ooh…"
Gus Dur : "Jadi intinya begitulah. Melakukan kesalahan itu manusiawi. Yang tidak manusiawi, ya yang iblisi itu kalau sudah salah tapi tidak mau mengakui kesalahannya justru malah merasa bener sendiri, sehingga menjadi sombong."
Santri : "Jadi kesalahan terbesar Iblis itu apa, Gus? Tidak mengakui Tuhan?"
Gus Dur : "Iblis bukan atheis, dia justru monotheis. Percaya Tuhan yang satu."
Santri : "Masa sih, Gus?"
Gus Dur : "Lho, kan dia pernah ketemu Tuhan, pernah dialog segala kok."
Santri : "Terus, kesalahan terbesar dia apa?"
Gus Dur : "Sombong, menyepelekan orang lain dan memonopoli kebenaran."
Santri : "Wah, persis cucunya Nabi Adam juga tuh."
Gus Dur : "Siapa? Ente?"
Santri : "Bukan. Cucu Nabi Adam yang lain, Gus. Mereka mengaku yang paling bener, paling sunnah, paling ahli surga. Kalo ada orang lain berbeda pendapat akan mereka serang. Mereka tuduh kafir, ahli bid'ah, ahli neraka. Orang lain disepelekan. Mereka mau orang lain menghormati mereka, tapi mereka tidak mau menghormati orang lain. Kalau sudah marah nih, Gus. Orang-orang ditonjokin, barang-barang orang lain dirusak, mencuri kitab kitab para ulama. Setelah itu mereka bilang kalau mereka pejuang kebenaran. Bahkan ada yang sampe ngebom segala loh."
Gus Dur : "Wah, persis Iblis tuh."
Santri : "Tapi mereka siap mati, Gus. Karena kalo mereka mati nanti masuk surga katanya."
Gus Dur : "Siap mati, tapi tidak siap hidup."
Santri : "Bedanya apa, Gus?"
Gus Dur : "Orang yang tidak siap hidup itu berarti tidak siap menjalankan agama."
Santri : "Lho, kok begitu?"
Gus Dur : "Nabi Adam dikasih agama oleh Tuhan kan waktu diturunkan ke bumi (lihat Al- Baqarah: 37). Bukan waktu di surga."
Santri : "Jadi, artinya, agama itu untuk bekal hidup, bukan bekal mati?"
Gus Dur : "Pinter kamu, Kang!"
Santri : "Santrinya siapa dulu dong? Gus Dur."

Sumber : Perpustakaan Universitas Menyan Indonesia (UMI)

Jumaat, Jun 17

Tips untuk bakal Pengantin

A : Bro, gambar kau cantik jer yer ko edit, time aku, muka kan main merah lagi photographer aku edit..
B : Lawanyerrrr pelamin ko abammm, sedap & lembut jer tengok
C : Best la gambo ko, nampak sweet jer ko dengan pasangan
.
OK, ini jawapan abam:

1. Warna Pelamin

Ambillah warna-warna lembut(pastel). Yang ko pergi ambil warna merah, karpet pon merah, semua nak merah, apa yang ko harapkan dari gambo yang dihasilkan? Biru lembut? Cehhh..

2. Lampu Pelamin

Setkan la lampu tu satu warna jer.. Ambil warna-warna soft (purple or blue).. Baru nampak mahal..

Yang pergi ambil lampu warna warni apahal? Ingat funfair ker? Pastu muka pula kena lampu yang dipasang… kejap muka ko jadi hulk, kejap jadi adudu.. ntah pape laa…

Ingat photographer korang suka ker? Ambil warna lembut-lembut, mesti gambar korang ohsem & photographer senang nak buat gambo.

3. Bridal Yang Boleh Bekerjasama

Ini satu hal, kadang-kadang bridal ni sedap tekak dia jer nak letak lampu dengan warna-warna bunga yang dia suka..

Dia tengok kat mata dia memanglah lawa, bila masuk dalam gambar, ada pula korang dalam tuu, terus jadi pelik… Photographer pulak pening-pening kepala nak adjustkan (dah la ko bayau ciput jerr kat photographer)..

Bila suggestkan warna-warna sepatutnya, buat tak tahu jer..

Paling best, bila bridal cakap, “Takperrr, photographer boleh editkan nanti jadi bagi lawo”… Eyhhh, macam tuu, baik bagi jer photographer duit yang dapat tuu..

Kalau korang jumpa bridal or MUA yang cakap macam ni, mohon tinggalkan awal-awal dan berilah mereka cermin …aummm

4. Kerjasama Dengan Photographer

Nak gambar best, muka mesti ada kena senyum maaa… Janganlah depan pelamin, muka macam tahi..

Lepastu complain kenapa muka jadi macam tuuu… Eyhhh, dah tu, nak edit muka satu-satu jadi senyum ker?

Pose la ikut selesa korang, jangan pula ikut perangai korang jerrr.. bila nak suruh pose dan di ajar, “Eyhhh, tak nak la, bla, bla, bla…” bila dapat album, tanya pulak kenapa pose sikit jer, naper tak fun-fun pun hmmmm

Tanya pendapat mereka, sesuai atau tak warna-warna pelamin yang ko impikan… Nanti dah dapat gambar, baru nak menyesal…

5. Pelamin Luar/ Bawah Khemah

Tutup keliling pelamin dengan kain.. Mintak bridal korang tutup bahagian belakang dan kiri kanan pelamin..

Lagi baik, lapis sekali dengan canvas di bahagian-bahagian tersebut.. Sebab apa? sebab cahaya di luar, biasa nya tak menentu dan tak sekata..

Tak faham juga? Tanya photographer korang…

6. Pakej Gambar

Ambillah pakej lengkap dari photographer korang.. Kalau ko ambil “pakej” SHOOT & BURN jer, pastu harap gambarnya sama seperti selepas dia edit, mimpilah koranggg…

Dapat-dapat pula kalau dia hantar budak-budak junior yang turun shoot, lagi kelam la harapan korang.. Auchhhh…

Nak prinsipal or senior yang turun, ambil pakej yang diorang sediakan siap-siap untuk tuu…

Ada banyak lagi tip, buat masa sekarang, ini jer abam larat tulis..

Kalau bermanfaat, share pada rakan-rakan yang nak kahwin nanti..

Selasa, Mei 24

Fakta PKI Yang Di Putarbelitkan

Meluruskan Sejarah PKI
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

#TEMPO Memutarbalik Fakta Killing Fields di Magetan Sebagai Kuburan Massal PKI

Berawal dari berita Liputan Khusus Majalah TEMPO edisi 1-7 Oktober 2012, yang dengan keterlaluan mem-PKI-kan orang yang sudah mati. Padahal, mereka itu bukan PKI. Mereka itu malah orang-orang malang yang menjadi korban kekejaman PKI. Sejarah diputar balik. Orang bukan PKI dibilang PKI.

Orang-orang mati korban kekejaman PKI #difitnah jadi PKI oleh TEMPO.
Padahal mereka itu tewas dibunuh PKI dimasukkan ke dalam sumur tua. Dalam beritanya di TEMPO sumur-sumur tua itu adalah kuburan PKI yang dibunuh dan dilemparkan di situ. Sama saja dengan menuduh, mayat-mayat yang dimasukkan sumur itu adalah PKI. Sungguh kasihan mereka.
Sudah mati masih dituduh sebagai PKI.

Dalam Liputan Khusus TEMPO halaman 65 dijelaskan, ”Tentang sumur “neraka” di Dusun Puhrancang, Desa Pragak, Kecamatan Parang, Magetan. Puluhan tahun silam, ratusan orang yang dicap anggota PKI dibantai dan dilemparkan ke dalam sumur itu. Demikian, menurut Sukiman, 47 tahun, pemilik lahan yang ada sumur “neraka” itu.”

Logikanya kalau Sukiman sekarang usianya 47 tahun, berarti tahun 1965 saat orang-orang PKI dibunuh dan dilempar ke sumur “neraka” itu usianya baru beberapa bulan. Apa mungkin bayi usia belum setahun jadi saksi pembunuhan?”. Menurut TEMPO, Sukiman memperoleh penjelasan tentang sumur “neraka” itu dari mertuanya yang sudah mati dua tahun silam. Jadi, itu hanya “katanya”, yaitu katanya orang yang sudah mati. Jadi tidak tahu sendiri karena saat peristiwa masih bayi.

Meski begitu TEMPO sudah menyimpulkan bahwa sumur “neraka” itu adalah “Ladang Pembantaian” seolah-olah sama dengan peristiwa genocida di Kampuchea yang dilakukan Khmer Merah di bawah Pol Pot yang sudah diangkat jadi film berjudul Killing Fields – Ladang Pembantaian. Berani sekali TEMPO bikin simpulan begitu.

Karena selain Sukiman masih ada narasumber lain, yaitu Kaderun, 69 tahun, Kadus Jombok, Desa Pragak. Kaderun sendiri aktivis Pemuda Muhammadiyah yang menjadi Banser. Menurutnya, “Sumur itu dalamnya 27 meter dengan diameter 2 meter. Ada 82 orang yang dimasukkan ke sumur itu setelah dibunuh. Eksekutornya adalah Yunus, tentara yang bertugas di Perwira Urusan Teritorial dan Perlawanan Rakyat (Puterpra) Kecamatan Parang, pangkat terakhirnya pembantu letnan dua. Puterpra itu kini berubah  menjadi Komando Rayon Militer alias Koramil.”

Sekarang kita bertanya-tanya, Apa benar itu Puterpra sekarang berubah menjadi Komando Rayon Militer?

Ya itulah narasumber TEMPO. Redaktur pelaksananya pun asal muat tidak check and recheck terhadap data apalagi melakukan triangulasi. Sejak zaman kolonial, daerah militer di kabupaten disebut District Militair yang di era kemerdekaan disebut daerah KODIM (Komando Distrik Militer). Di bawah District Militair atau KODIM  adalah daerah setingkat kecamatan yang disebut Onder District Militair yang di masa kemerdekaan disebut KODM (Komando Onder Ristrik Militer) yang berubah menjadi Komando Rayon Militer disingkat Koramil. Mana ada sejarah militer Koramil berasal dari Puterpra. Yang lebih payah, eksekutor para PKI itu adalah Yunus seorang diri.

“Bahkan ada lagi kuburan massal karya Peltu Yunus di hutan Gangsiran di Dusun Gangsiran, Desa Mategal, Kecamatan Parang. Para korban dimasukkan ke sejumlah lubang yang dalamnya tidak sampai dua meter. Jumlah yang tewas belasan sampai puluhan. Begitu penuh langsung diuruk dan ditandai dengan pohon.”

Seperti yang disebutkan diatas, bahwa Kaderun menyatakan jumlah PKI yang dimasukkan sumur “neraka” di Dusun Puhrancang itu 82 orang. Darimana angka itu? Apakah jumlah itu sudah pasti? Padahal ini, di halaman 65, TEMPO tegas-tegas menyatakan bahwa “puluhan tahun silam, ke dalam sumur itulah RATUSAN ORANG  yang dicap anggota Partai Komunis Indonesia yang mati dibantai dilemparkan.” Manakah yang benar, 82 orang seperti kesaksian Kaderun, ataukah simpulan semaunya TEMPO yang menyebut angka RATUSAN ORANG?”

Jangan tanya kebenaran faktual kepada orang-orang musyrik penyembah funding asing. Mereka orang liberal. Orang bebas. Bebas bohong. Bebas memanipulasi data. Bebas kentut. Bebas apa saja, kecuali menyadari bahwa mereka adalah abdi setia funding asing.

Ada saksi lain lagi bernama Sumarwanto yang memberi angka 700 orang korban PKI di hutan Gangsiran. Sumarwanto tidak tahu sendiri, Dia diberitahu bapaknya. Jadi angka pasti berapa isi ‘Ladang Pembantaian’ itu belum jelas karena belum pernah ada yang menggali dan menghitung jumlah mayat di dalamnya,..kecual kalau Kaderun, mertuanya Sukiman dan  bapaknya Sumarwanto adalah eksekutor PKI sehingga mereka tahu pasti jumlah angkanya.

Kabupaten Magetan selama ini sudah dikenal di dunia sebagai tempat beradanya Lubang-lubang Sumur Pembantaian (Killing Holes) dan “Ladang Pembantaian” (Killings Fields) sebagaimana dicatat dalam buku “Lubang-lubang Pembantaian: Pemberontakan FDR/PKI 1948 di Madiun”  ditulis Maksum – Agus Sunyoto – Zainuddin terbitan Grafiti Press (1990); Peristiwa Coup berdarah PKI 1948 di Madiun  ditulis Pinardi terbitan Inkopak-Hazera (1967); Pemberontakan Madiun: Ditinjau dari hukum negara kita ditulis Sudarisman Purwokusumo terbitan Sumber Kemadjuan Rakjat (1951); De PKI in actie: Opstand of affaire (Madiun 1948: PKI Bergerak)  ditulis Harry A.Poeze terbitan KITLV-Yayasan Obor (2011).”

Jadi sebenarnya sumur-sumur “neraka” dan “Ladang Pembantaian” di Magetan itu sejatinya  isinya orang-orang yang dibunuh oleh PKI. Itu faktanya! . Ada banyak jumlah sumur-sumur “neraka” dan “Ladang Pembantaian” karya PKI di Magetan itu. Yang sudah ditemukan ada 7 sumur “neraka” dan 1 “Ladang Pembantaian”, yaitu: 1. sumur tua  Desa Dijenan, Kec.Ngadirejo, Kab.Magetan; 2.Sumur tua I Desa Soco, Kec.Bendo, Kab.Magetan; 3.Sumur tua II Desa Soco, Kec.Bendo, Kab. Magetan; 4. Sumur tua Desa Cigrok, Kec.Kenongomulyo, Kab.Magetan; 5. Sumur tua Desa Pojok, Kec.Kawedanan, Kab.Magetan; 6. Sumur tua Desa Batokan, Kec.Banjarejo, Kab. Magetan; 7. Sumur tua .Desa Bogem, kec.Kawedanan, Kab.Magetan; satu lokasi yang digunakan membantai musuh-musuh PKI adalah ruangan kantor dan halaman  Pabrik Gula Gorang-Gareng di Magetan.

Waktu sumur-sumur “neraka” itu dibongkar tahun 1950, yang menyaksikan berpuluh ribu warga kabupaten dari berbagai desa terutama keluarga-keluarga yang mencari anggota keluarganya yang hilang diculik PKI. Begitulah, puluhan ribu warga Magetan menjadi saksi kejahanaman PKI yang memasukkan korban-korban kebiadaban mereka ke sumur-sumur “neraka” itu. Jumlah korban dihitung. Diotopsi. Semua terdata rapi. Sebagian besar masih dikenali keluarga maupun tim dokter.

Siapa saja kira-kira mereka yang dibantai PKI dan dimasukkan di sumur-sumur “neraka” itu?

Inilah data dari sumur “neraka” I di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan yang berisi 108 mayat, yaitu:  Soehoed; R. Moerti. Kepala Pengadilan Magetan; Mas Ngabehi Soedibyo. Bupati Magetan; R. Soebianto, sekretaris kabupaten Magetan; R. Soekardono, Patih Magetan; Soebirin; Imam Hadi; R. Joedo Koesoemo; Soemardji; Soetjipto; Iskak; Soelaiman; Hadi Soewirjo; Soedjak; Soetedjo;Soekadi; Imam Soedjono; Pamoedji; Soerat Atim; Hardjo Roedino; Mahardjono; Soerjawan; Oemar Danoes; Soehari; Mochammad Samsoeri; Soemono; Karyadi; Soedradjat; Bambang Joewono; Soepaijo; Marsaid; Soebargi Haroen Ismail; Soejadijo; Ridwan; Marto Ngoetomo; Hadji Afandi; Hadji Soewignjo; Hadji Doelah; Amat Is; Hadji Soewignyo; Sakidi; Nyonya Sakidi; Sarman; Soemokidjan; Irawan; Soemarno; Marni; Kaslan; Soetokarijo; Kasan Redjo; Soeparno; Soekar; Samidi; Soebandi; Raden Noto Amidjojo; Soekoen; Pangat B; Soeparno; Soetojo; Sarman; Moekiman; Soekiman; Pangat/Hardjo; Sarkoen B; Sarkoen A; Kasan Diwirjo; Moeanan; ada sekitar 40 mayat tidak dikenali karena bukan orang Magetan.

Dalam peristiwa biadab itu ada kyai-kyai yang dibunuh PKI. Inilah data dari sumur “neraka” II Desa Soco, Kecamatan Bendo, kabupaten Magetan yang berisi 22 mayat, yaitu: R.Ismiadi, Kepala Resort Polisi Magetan; R.Doerjat, Inspektur Polisi Magetan; Kasianto, anggota Polri; Soebianto, anggota Polri; Kholis, anggota Polri; Soekir, anggota Polri; Bamudji, Pembantu Sekretaris BTT; Oemar Damos, Kepala Jawatan Penerangan Magetan; Rofingi Tjiptomartono,Wedana Magetan; Bani, APP.Upas; Soemingan, APP.Upas; Baidowi, Naib Bendo; Reso Siswojo, Guru; Kusnandar, Guru; Soejoedono, Adm PG Rejosari; Kjai Imam Mursjid Muttaqin, Mursyid Tarikat Syattariyah Pesantren Takeran; Kjai Zoebair; Kjai Malik; Kjai Noeroen; Kjai Moch.Noor.”

TEMPO mau membelokkan arah  sejarah dengan membentuk sudut pandang baru bersifat manipulatif bahwa sumur “neraka” dan “Ladang Pembantaian” di Magetan berisi mayat anggota PKI. Padahal, rakyat Magetan beserta sejarawan dan ilmuwan sedunia sudah menemukan fakta bahwa sumur-sumur “neraka” dan “Ladang Pembantaian” di Magetan itu adalah karya PKI ketika melakukan gerakan makar tanggal 18 September 1948. Hmm,..tendensius sekali Liputan Khusus TEMPO edisi 1 – 7 Oktober 2012 ini.

Gobloklah kita jika masih  percaya pada majalah TEMPO yang dengan  data  sarat rekayasa   nekad   mengubah Kebenaran sejarah dengan  memutar-balik fakta sejarah. Bumi Magetan yang dalam fakta sejarah jelas-jelas ditebari sumur-sumur “neraka” dan “Ladang Pembantaian” hasil kebiadaban  PKI dibalik total menjadi bumi yang ditebari sumur-sumur “neraka” dan “Ladang Pembantaian” berisi mayat anggota PKI yang disembelih Banser dan tentara. Begitulah Liputan Khusus TEMPO 1-7 Oktober 2012 itu membentuk Kebenaran Imajiner bahwa PKI adalah  organisasi yang sama dengan organisasi seumumnya yang  beranggotakan orang-orang baik, yang  tidak bersalah, kaum lemah tidak berdaya yang teraniaya dan  terzhalimi, yang telah menjadi  korban kebiadaban kaum beragama haus darah: NU, Ansor, Banser.

Lalu dengan nada menggurui dalam OPINI-nya Redaktur Senior TEMPO mengimbau pembaca bahwa “tidak selayaknya kita alergi terhadap komunisme.. [..]..karena itu tidak perlu melarang penyebaran ajaran komunisme, Marxisme, Leninisme. Ketetapan MPRturn-on'sS tentang itu sebaiknya dihapus saja”. Tidak hanya  mengimbau, TEMPO malah sudah memberi contoh  kongkrit berupa usaha  menghapus jejak-jejak  kebiadaban PKI berupa sumur-sumur “neraka” dan “Ladang pembantaian” di Magetan lewat pembentukan opini baru bahwa sumur “neraka” dan “Ladang Pembantaian” di Magetan itu adalah jejak kebiadaban Banser dan tentara. (Disunting dari catatan Agus Sunyoto,   4 Oktober 2012)

:: Kebiadaban PKI

Jangan bilang PKI tidak bersalah. Peristiwa Madiun 1948 itu ulah biadab  PKI. Dan betapa pahitnya omongan Aidit yang bilang ulama itu tanpa kerjaan, kitabnya yang banyak, yang bisa buat bendung kali Ciliwung tidak berguna, Indonesia tak butuh ulama.

Sejarah perlu dipahami secara utuh dan berkesinambungan. Pemahaman sejarah yang hanya dengan membaca potongan-potongan fragmen, sementara sebagian fragmen telah dipenggal dan ditutup-tutupi, akan melahirkan pemahaman menyimpang. Tidak hanya itu, bahkan bisa memutarbalikkan fakta dalam peristiwa. Hal itu terjadi di tengah bangsa ini dalam memahami sejarah pemberontakan PKI.

Dalam pandangan sejarah kontemporer yang tidak benar, PKI hanya dianggap membuat maneuver hanya tahun 1965. Itu pun juga tidak sepenuhnya diakui, sebab peristiwa berdarah  itu dianggap hanya manuver TNI Angkatan Darat. Kemudian dibuat kesimpulan bahwa PKI tidak pernah melakukan petualangan politik. Mereka dianggap sebagai korban konspirasi dari TNI AD dan ormas Islam anti PKI seperti NU dll.

Pemberontakan PKI pertama kali dilakukan tahun 1926, kemudian dilanjutkan dengan Pemberontakan Madiun 1948 dan dilanjutkan kembali pada tahun 1965 adalah suatu kesatuan sejarah yang saling terkait. Para pelakunya saling berhubungan. Tujuan utamanya adalah bagaimana mengkomuniskan Indonesia dengan mengorbankan para ulama dan aparat negara.

Pemberontakan Madiun 1948  yang dilakukan PKI beserta Pesindo dan organ kiri lainnya menelan ribuan korban baik dari kalangan santri, para ulama, pemimpin tarekat, yang dibantai secara keji. Selain itu berbagai aset mereka seperti masjid, pesantren dan madrasah dibakar. Demikian juga kalangan aparat negara baik para birokrat, aparat keamanan, poliisi dan TNI banyak yang mereka bantai saat mereka menguasai Madiun dan sektarnya yang meliputi kawasan startegis Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Anehnya, PKI menuduh pembantaian yang mereka lakukan itu hanya sebagai manuver Hatta. Padahal jelas-jelas Bung Karno Sendiri yang berkuasa saat itu bersama Hatta mengatakan pada Rakyat bahwa Pemberontakan PKI di Madiun yang dipimpin Muso dan Amir Syarifuddin itu sebuah kudeta untuk menikam republik dari Belakang, karena itu harus dihancurkan. Korban yang begitu besar itu ditutupi oleh PKI, karena itu tidak lama akemudian Aidit menerbitkan buku Putih yang memutarbalikkan Fakta pembantaian Madiun itu. Para penulis sejarah termakan oleh manipulasi Aidit itu. Tetapi rakyat, para ulama dan santri sebagai korban tetap mencatat dalam sejarahnya sendiri.

Karena peristiwa itu dilupakan maka PKI melakukan agitasi dan propaganda intensif sejak dimulainya kampanye Pemilu 1955, sehingga suasana politik tidak hanya panas, tetapi penuh dengan ketegangan dan konflik. Berbagai aksi teror dilakukan PKI. Para kiai dianggap sebagai salah satu dari setan desa yang harus dibabat. Kehidupan kiai dan kaum santri sangat terteror, sehingga mereka selalu berjaga dari serangan PKI.

Fitnah, penghinaan serta pembunuhan dilakukan PKI di berbagai tempat, sehingga terjadi konflik sosial yang bersifat horisontal antara pengikut PKI dan kelompok Islam terutama NU. Serang menyerang terjadi di berbagai tempat ibadah, pengrusakan pesantren dan masjid dilakukan termasuk perampasan tanah para kiai. Bahkan pembunuhan pun dilakukan. Saat itu NU melakukan siaga penuh yang kemudian dibantu oleh GP Ansor dengan Banser sebagai pasukan khusus yang melindungi mereka. Lagi-lagi Kekejaman yang dilakukan PKI terhadap santri dan kiai dan kalangan TNI itu dianggap hanya manuver TNI AD.

Sejarah dibalik. Yang selama ini PKI bertindak sebagai pelaku kekejaman, diubah menjadi pihak yang menjadi korban kekejaman para ulama dan TNI. Lalu mereka membuat berbagai maneuver melalui amnesti internasional dan mahkamah internasional, termasuk Komnas HAM. Karena mereka pada umumnya tidak tahu sejarah, maka dengan mudah mempercayai pemalsuan sejarah seperti itu. Akhirnya kalangan TNI, pemerintah dan NU yang membela diri dan membela agama serta membela ideologi negara itu dipaksa minta maaf, karena dianggap melakukan kekejaman pada PKI.

PKI telah menciptakan suasana  sedemikian tegang ,sehingga sampai pada situasi to kill or to be killed (membunuh atau dibunuh), dalam sebuah  perang saudara. Oleh karena itu kalau diperlukan perdamaian maka keduanya bisa saling member maaf, bukan permintaan maaf sepihak sebagaimana mereka tuntut, karena justeru kesalahan ada pada mereka dengan melakukan agitasi serta teror bahkan pembantaian.

Pemahaman sejarah yang menyimpang ini harus diluruskan karena telah menyebar luas. Bahkan tidak sedikit kader NU yang berpandangan demikian, karena itu harus diluruskan, karena ini menyangkut peran politik NU ke depan.

Demi membangun Indonesia ke depan yang utuh dan tanpa diskriminasi NU bersedia memaafkan PKI sejauh mereka minta maaf. NU boleh memaafkan PKI tetapi sama sekali tidak boleh melupakan semua petualangan PKI, agar tidak terjerumus dalam lubang sejarah untuk ketiga kali. Dengan demikian bisa bersikap proporsional, bersahabat, bekerjasama dengan semua pihak, namun tetap menjaga keberadaan agama, keutuhan wilayah, komitmen ideologi serta keamanan negara.

Rekonsiliasi NU – PKI Sudah Lama Terjadi

Kehidupan damai, rukun, guyub, saling membantu di masyarakat tingkat bawah antara yang anti PKI dan yang PKI sudah berjalan nyaris tanpa kikuk. Sebab, dendam di masyarakat tidak parah, mereka tidak paham politik.

Memahami dan membuktikan sejarah kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berlangsung pada 1948-1965 tak cukup hanya bermodalkan buku teks sejarah. Kini sedang terasa ada pemutarbalikan sejarah dari PKI sebagai pelaku kejahatan menjadi korban yang patut dikasihani.

Desakan sejumlah kelompok agar NU mau melakukan rekonsiliasi dengan mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan keturunannya dinilai tidak relevan. NU selama ini tidak menyimpan dendam dan usaha rekonsiliasi sudah dipraktikan kiai-kiai NU sejak dulu dengan penuh kesadaran.

Demikian pandangan sejarawan NU Agus Sunyoto di sela acara Tahlil dan Doa Bersama untuk Para Kiai dan Santri Korban Kekejaman PKI Tahun 1948-1965 di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Senin (1/10) malam. Turut berbicara dalam forum ini, Wakil Ketua Umum PBNU KH As’ad Said Ali dan sejumlah aktivis senior NU, seperti Khalid Mawardi, Baidlawi Adnan, dan Abdullah Syarwani.

Agus menyatakan, fakta itu bisa ditelusuri setelah maraknya janda-janda dan anak-anak yatim dari keluarga PKI akibat Operasi Trisula di Blitar, Jawa Timur. Kiai-kiai NU secara bijak mengambil anak tanpa ayah itu untuk dipesantrenkan, disekolahkan, dan dibesarkan.

“Anak-anak inilah yang akhirnya, karena walinya atas nama kiai-kiai tadi, ya mereka bisa jadi pegawai negeri, di departemen agama, di mana-mana,” imbuhnya.

Rekonsiliasi, demikian Agus, juga bisa ditemukan di Desa Trisulo, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, yang saat itu seratus persen warganya anggota PKI. Karena trauma, penduduknya tak menerima ormas apapun masuk ke desa itu. Namun, KH Ishom Hadziq justru berhasil mengikat persaudaraan dengan membentuk ranting NU Trisulo dan ranting Ansor Trisulo pada tahun 1997.

Penulis buku Banser Berjihad Menumpas PKI ini merasa janggal ketika sejumlah media mendorong rekonsiliasi, sebuah ajakan yang sebetulnya sudah dilakukan sejak lama. “Itu fakta. Jadi nggak usah ngomong rekonsiliasi. Yang dilakukan para kiai sudah seperti itu,” tegasnya.

Agus menduga ada kepentingan pihak ketiga yang sedang menunggangi tuntutan ini, termasuk upaya pembelokkan sejarah kekejaman PKI. “Kalau ada yang seperti ini mereka (keluarga PKI,red.) pasti ketakutan. Karena setting ini pasti bukan keinginan dari anak-anak PKI itu. Pasti ada pihak lain.” (Sumber, http://nu.or.id/)

:: SUMUR TUA SAKSI BISU KEKEJAMAN PKI

Salah seorang korban PKI di sumur tua Cigrok adalah KH Imam Shofwan, pengasuh Pesantren Thoriqussu’ada Rejosari, Madiun. KH Shofwan dikubur hidup-hidup di dalam sumur tersebut setelah disiksa berkali-kali…

Di antara kegemaran PKI yang terkenal adalah membantai para korbannya di sumur tua, kemudian ditimbun dengan tanah. Di sejumlah tempat di Magetan dan Madiun, terdapat beberapa sumur-sumur tua yang menjadi tempat pembantaian.

Sumur Tua Desa Soco

Soco adalah sebuah desa kecil yang terletak hanya beberapa ratus meter di sebelah selatan lapangan udara Iswahyudi. Desa Soco termasuk dalam wilayah Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Dalam peristiwa berdarah pemberotakan PKI tahun 1948, Soco memiliki sejarah tersendiri.

Di desa inilah terdapat sebuah sumur tua yang dijadikan tempat pembantaian oleh PKI. Ratusan korban pembunuhan keji yang dilakukan PKI ditimbun jadi satu di lubang sumur yang tak lebih dari satu meter persegi itu.

Letak Soco yang strategis dan dekat dengan lapangan udara dan dipenuhi tegalan yang banyak sumurnya, menjadikan kawasan itu layak dijadikan tempat pembantaian. Apalagi desa ini juga dilewati rel kereta lori pengangkut tebu ke Pabrik Gula Glodok, Pabrik Gula Kanigoro dan juga Pabrik Gula Gorang-gareng. Gerbong kereta lori dari Pabrik Gula Gorang-gareng itulah yang dijadikan kendaraan mengangkut para tawanan untuk dibantai di sumur tua di tengah tegalan Desa Soco.

Di sumur tua desa Soco ditemukan tak kurang dari 108 jenazah korban kebiadaban PKI. Sebanyak 78 orang diantaranya dapat dikenali, sementara sisanya tidak dikenal. Sumur-sumur tua yang tak terpakai di desa Soco memang dirancang oleh PKI sebagai tempat pembantaian massal sebelum melakukan pemberontakan.

Beberapa nama korban yang menjadi korban pembantaian di Desa Soco adalah Bupati Magetan Sudibjo, Jaksa R Moerti, Muhammad Suhud (ayah mantan Ketua DPR/MPR, Kharis Suhud), Kapten Sumarno dan beberapa pejabat pemerintah serta tokoh masyarakat setempat termasuk KH Soelaiman Zuhdi Affandi, pimpinan Pondok Pesantren ath-Thohirin Mojopurno, Magetan.

Di Soco sendiri terdapat dua buah lubang utama yang dijadikan tempat pembantaian. Kedua sumur tua itu terletak tidak jauh dari rel kereta lori pengangkut tebu. Para tawanan yang disekap di Pabrik Gula Rejosari diangkut secara bergiliran untuk dibantai di Desa Soco. Selain membantai para tawanan di sumur Soco, PKI juga membawa tawanan dari jalur kereta yang sama ke arah Desa Cigrok. Kini, desa Cigrok dikenal dengan nama Desa Kenongo Mulyo.

Terungkapnya sumur Soco sebagai tempat pembantaian PKI bermula dari igauan salah seorang anggota PKI yang turut membantai korban. Selang seratus hari setelah pembantaian di sumur tua itu, anggota PKI ini mengigau dan mengaku ikut membantai para tawanan.

Setelah diselidiki dan diinterogasi, akhirnya dia menunjukkan letak sumur tersebut. Sekalipun letak sumur telah ditemukan, namun penggalian jenazah tidak dilakukan pada saat itu juga, tapi beberapa tahun kemudian. Hal ini disebabkan oleh kesibukan pemerintah RI dalam melawan agresi Belanda yang kedua.

Sekitar awal tahun 1950-an, barulah sumur tua desa Soco digali. Salah seorang penggali sumur bernama Pangat menuturkan, penggalian sumur dilakukan tidak dari atas, namun dari dua arah samping sumur untuk memudahkan pengangkatan dan tidak merusak jenazah. Penggali sumur dibagi dalam dua kelompok yang masing-masing terdiri dari enam orang.

Menurut Pangat, mayat-mayat yang dia gali pada waktu itu sudah dalam keadaan hancur lebur seperti tape ketela. Daging dan kulit jenazah hanya menempel sedikit diantara tulang-belulang. Di kedalaman sumur yang sekitar duabelas meter, regu pertama menemukan 78 mayat, sementara regu kedua menemukan 30 mayat. Semua jenazah dihitung hanya berdasarkan tengkorak kepala, karena tubuh para korban telah bercampur-aduk sedemikian rupa.

Sumur Tua Desa Bangsri

Diantara sejumlah sumur tempat pembantaian yang digunakan PKI di sekitar Magetan, sumur tua desa Bangsri merupakan tempat yang paling awal. Sumur tua ini terletak di tengah tegalan ladang ketela di Dukuh Dadapan. Sekitar 10 orang korban PKI dibantai di sini. Kebanyakan adalah warga biasa yang dianggap menentang atau melawan PKI.

Para korban pembantaian di Bangsri berasal dari Desa Selo Tinatah, dan berlangsung sebelum pemberontakan 18 September 1948 dimulai. Mereka yang tertangkap PKI kemudian ditahan di dusun Dadapan. Beberapa hari menjelang hari H pemberontakan, para tawanan pun disembelih di lubang pembantaian di tengah tegalan.

Sumur Tua Desa Cigrok

Sumur tua di Desa Cigrok ini hampir sama dengan sumur tua di Desa Soco, sama-sama tidak terpakai lagi. Sebagaimana kepercayaan masyarakat setempat yang pantang menimbun sumur setelah tidak digunakan lagi, sumur tua Desa Cigrok demikian pula. Tidak ditimbun, kecuali tertimbun sendiri oleh tanah.

Sumur tua Desa Cigrok terletak di rumah seorang warga desa bernama To Teruno. To Teruno sebenarnya bukanlah anggota PKI, justru dialah yang melaporkan kekejaman PKI di sumur miliknya itu kepada kepala desanya. Salah seorang korban PKI di sumur tua Cigrok adalah KH Imam Shofwan, pengasuh Pesantren Thoriqussu’ada Rejosari, Madiun. KH Shofwan dikubur hidup-hidup di dalam sumur tersebut setelah disiksa berkali-kali. Bahkan ketika dimasukkan ke dalam sumur, KH Imam Shofwan sempat mengumandangkan adzan. Dua putra KH Imam Shofwan, yakni Kyai Zubeir dan Kyai Bawani juga jadi korban dan dikubur hidup-hidup secara bersama-sama.

Sebanyak 22 orang yang menjadi korban pembantaian di sumur tua Desa Cigrok. Selain KH Imam Shofwan dan dua puteranya, terdapat pula Hadi Addaba dan Imam Faham dari Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran. Imam Faham adalah adik dari Muhammad Suhud, paman dari Kharis Suhud.

Imam sebenarnya ikut mengawal KH Imam Mursjid ketika diciduk dari pesantrennya, namun di tengah jalan mereka terpisah. Jenazah Imam Faham akhirnya ditemukan di sumur tua itu, sementara jenazah KH Imam Mursjid hingga kini belum ditemukan.

Pesantren Takeran atau dikenal dengan pesantren Sabilil Muttaqien dipimpin oleh Kiai Imam Mursjid Muttaqien yang masih berumur 28 tahun. Pesantern Takeran merupakan salah satu pesantren yang paling berwibawa di Magetan kerena pemimpinnya mempunyai pengaruh yang sangat besar karena Kyai Imam Mursjid juga bertindak sebagai Imam tarekat Syatariyah.

Pesantren menjadi musuh utama PKI karena dalam pesantren itu terdapat kekuatan yang sangat diperhitungkan yaitu di dalam pesantren Takeran mamang aktif melakukan penggemblengan fisik dan spiritual terhadap para santri. Pada tanggal 17 September 1948, tepatnya hari Jum’at Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang berasal dari Tulungagung dan Tegal Rejo pergi ke Burikan. Setelah kepergian mereka seusai sholat Jum’at, Kiai Imam Mursjid didatangi oleh tokoh-tokoh PKI. Saat itu Kiai Imam Mursjid diajak bermusyawarah mengenai republik Soviet Indonesia. Kepergian pemimpin pesantren mereka menimbulkan tanda tanya besar, dua hari kemudian keberadaan iai Imam Mursjid belum diketahui secara pasti. PKI terus melakukan penangkapan dan penculikan kepada ustadz-ustadz yang lain seperti Ahmad Baidway, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba.

Mereka tidak pernah kembali. Bahkan sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembatantaian yang tersebar di berbagai tempat di magetan. Yang menimbulkan keheranan adalah sampai sekarang adalah tempat pembantaian Kiai Mursjid yang belum diketahui sampai sekarang karena mayatnya belum dapat ditemukan. Bahkan dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri tidak tercantum nama Kiai Mursjid. (Berbagai Sumber )

Isnin, Januari 11

Perjuangan Gusdur untuk NKRI

Gusdurfiles ~ Di akhir tahun 1998 Gus Dur rawuh (datang) di Wonosobo. Saat itu sedang ramainya era reformasi, beberapa bulan setelah Pak Harto jatuh. Dan ini terjadi beberapa bulan sebelum Gus Dur menjadi orang nomer satu di Negeri ini. Beliau masih menjabat sebagai Ketua PBNU. Bertempat di Gedung PCNU Wonosobo, Gus Dur mengadakan pertemuan dengan pengurus NU dari Wonosobo, Banjarnegara, Pubalingga, Kebumen, Temanggung dan Magelang. Tentu saja semua kiai ingin tahu pendapat Gus Dur tentang situasi politik terbaru. Penulis hadir di situ walaupun bukan kiai, dan duduk persis di depan Gus Dur. Penulis lah yang menuntun Gus Dur menaiki Lantai 2 PCNU Wonosobo. “Pripun Gus situasi politik terbaru?” tanya seorang kiai. “Orde Baru tumbang, tapi Negeri ini sakit keras.” kata Gus Dur. “Kok bisa Gus?” “Ya bisa, wong yang menumbangkan Orde Baru pakainya emosi dan ambisi tanpa perencanaan yang jelas. Setelah tumbang mereka bingung mau apa, sehingga arah reformasi gak genah. Bahkan Negeri ini di ambang kehancuran, di ambang perang saudara. Arah politik Negeri ini sedang menggiring Negeri ini ke pinggir jurang kehancuran dan separatisme. Lihat saja, baru berapa bulan Orde Reformasi berjalan, kita sudah kehilangan propinsi ke-27 kita, yaitu Timor Timur.” kata Gus Dur. Kiai tersebut sebagaimana biasa, kalau belum mulai bicara. Pak Habibi, kita semua akan merasa kasihan dengan sikap Gus Dur yang datar dan seperti capek sekali dan seperti aras-arasen bicara. Tapi kalau sudah mulai, luar biasa memikat dan ruangan jadi sepi kayak kuburan, tak ada bunyi apapun selain pangendikan Gus Dur. Seorang kiai penasaran dengan calon presiden devinitif pengganti Pak Habibi yang hanya menjabat sementara sampai sidang MPR. Ia bertanya: “Gus, terus siapa yang paling pas jadi Presiden nanti Gus?” “Ya saya, hehehe…” kata Gus Dur datar. Semua orang kaget dan menyangka Gus Dur guyon seperti biasanya yang memang suka guyon. “Yang bisa jadi presiden di masa seperti ini ya hanya saya kalau Indonesia gak pingin hancur. Dan saya sudah dikabari kalau-kalau saya mau jadi presidan walau sebentar hehehe...” kata Gus Dur mantab. “Siapa yang ngabari dan yang nyuruh Gus?” tanya seorang kiai. “Gak usah tahu. Orang NU tugasnya yakin saja bahwa nanti presidennya pasti dari NU,” kata Gus Dur masih datar seperti guyon. Orang yang hadir di ruangan itu bingung antara yakin dan tidak yakin mengingat kondisi fisik Gus Dur yang demikian. Ditambah lagi masih ada stok orang yang secara fisik lebih sehat dan berambisi jadi presiden, yaitu Amin Rais dan Megawati. Tapi tidak ada yang berani mengejar pertanyaan tentang presiden RI. Kemudian Gus Dur menyambung: “Indonesia dalam masa menuju kehancuran. Separatisme sangat membahayakan. Bukan separatismenya yang membahayakan, tapi yang memback up di belakangnya. Negara-negara Barat ingin Indonesia hancur menjadi Indonesia Serikat, maka mereka melatih para pemberontak, membiayai untuk kemudian meminta merdeka seperti Timor Timur yang dimotori Australia.” Sejenak sang Kiai tertegun. Dan sambil membenarkan letak kacamatanya ia melanjutkan: “Tidak ada orang kita yang sadar bahaya ini. Mereka hanya pada ingin menguasai Negeri ini saja tanpa perduli apakah Negeri ini cerai-berai atau tidak. Maka saya harus jadi presiden, agar bisa memutus mata rantai konspirasi pecah-belah Indonesia. Saya tahu betul mata rantai konspirasi itu. RMS dibantu berapa Negara, Irian Barat siapa yang back up, GAM siapa yang ngojok-ojoki, dan saya dengar beberapa propinsi sudah siap mengajukan memorandum. Ini sangat berbahaya.” Kemudiaan ia menarik nafas panjang dan melanjutkan: “Saya mau jadi presiden. Tetapi peran saya bukan sebagai pemadam api. Saya akan jadi pencegah kebakaran dan bukan pemadam kebakaran. Kalau saya jadi pemadam setelah api membakar Negeri ini, maka pasti sudah banyak korban. Akan makin sulit. Tapi kalau jadi pencegah kebakaran, hampir pasti gak akan ada orang yang menghargainya. Maka, mungkin kalaupun jadi presiden saya gak akan lama, karena mereka akan salah memahami langakah saya.” Seakan mengerti raut wajah bingung para kiai yang menyimak, Gus Dur pun kembali selorohkan pemikirannya. “Jelasnya begini, tak kasih gambaran,” kata Gus Dur menegaskan setelah melihat semua hadirin tidak mudeng dan agak bingung dengan tamsil Gus Dur. “Begini, suara langit mengatakan bahwa sebuah rumah akan terbakar. Ada dua pilihan, kalau mau jadi pahlawan maka biarkan rumah ini terbakar dulu lalu datang membawa pemadam. Maka semua orang akan menganggap kita pahlawan. Tapi sayang sudah terlanjur gosong dan mungkin banyak yang mati, juga rumahnya sudah jadi jelek. Kita jadi pahlawan pemyelamat yang dielu-elukan.” Kemudian lanjutnya: “Kedua, preventif. Suara langit sama, rumah itu mau terbakar. Penyebabnya tentu saja api. Ndilalah jam sekian akan ada orang naruh jerigen bensin di sebuah tempat. Ndilalah angin membawa sampah dan ranggas ke tempat itu. Ndilallah pada jam tertentu akan ada orang lewat situ. Ndilalah dia rokoknya habis pas dekat rumah itu. Ndilalalah dia tangan kanannya yang lega. Terus membuang puntung rokok ke arah kanan dimana ada tumpukan sampah kering.” Lalu ia sedikit memajukan duduknya, sambil menukas: “Lalu ceritanya kalau dirangkai jadi begini; ada orang lewat dekat rumah, lalu membuang puntung rokok, puntung rokok kena angin sehingga menyalakan sampah kering, api di sampah kering membesar lalu menyambar jerigen bensin yang baru tadi ditaruh di situ dan terbakarlah rumah itu.” “Suara langit ini hampir bisa dibilang pasti, tapi semua ada sebab-musabab. Kalau sebab di cegah maka musabab tidak akan terjadi. Kalau seseorang melihat rumah terbakar lalu ambil ember dan air lalu disiram sehingga tidak meluas maka dia akan jadi pahlawan. Tapi kalau seorang yang waskito, yang tahu akan sebab-musabab, dia akan menghadang orang yang mau menaruh jerigen bensin, atau menghadang orang yang merokok agar tidak lewat situ, atau gak buang puntung rokok di situ sehingga sababun kebakaran tidak terjadi.” Sejenak semua jamaah mangguk-mangguk. Kemudian Gus Dur melanjutkan: “Tapi nanti yang terjadi adalah, orang yang membawa jerigen akan marah ketika kita cegah dia naruh jerigen bensin di situ: “Apa urusan kamu, ini rumahku, bebas dong aku naruh di mana?” Pasti itu yang akan dikatakan orang itu.” “Lalu misal ia memilih menghadang orang yang mau buang puntung rokok agar gak usah lewat situ, Kita bilang: “Mas, tolong jangan lewat sini dan jangan merokok. Karena nanti Panjenengan akan menjadi penyebab kebakaran rumah itu.” Apa kata dia: “Dasar orang gila, apa hubungannya aku merokok dengan rumah terbakar? Lagian mana rumah terbakar?! Ada-ada saja orang gila ini. Minggir! saya mau lewat.” Kini makin jelas arah pembicaraannya dan semua yang hadir makin khusyuk menyimak. “Nah, ini peran yang harus diambil NU saat ini. Suara langit sudah jelas, Negeri ini atau rumah ini akan terbakar dan harus dicegah penyebabnya. Tapi resikonya kita tidak akan popular, tapi rumah itu selamat. Tak ada selain NU yang berpikir ke sana. Mereka lebih memilih: “Biar saja rumah terbakar asal aku jadi penguasanya, biar rumah besar itu tinggal sedikit asal nanti aku jadi pahlawan maka masyarakat akan memilihku jadi presiden.” “Poro Kiai ingkang kinormatan.” kata Gus Dur kemudian. “Kita yang akan jadi presiden, itu kata suara langit. Kita gak usah mikir bagaimana caranya. Percaya saja, titik. Dan tugas kita adalah mencegah orang buang puntung rokok dan mencegah orang yang kan menaruh bensin. Padahal itu banyak sekali dan ada di banyak negara. Dan pekerjaan itu secara dzahir sangat tidak popular, seperti ndingini kerso. Tapi harus kita ambil. Waktu yang singkat dalam masa itu nanti, kita gak akan ngurusi dalam Negeri.” “Kita harus memutus mata rantai pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka di Swiss, kita harus temui Hasan Tiro. Tak cukup Hasan Tiro, presiden dan pimpinan-pimpinan negara yang simpati padanya harus didekati. Butuh waktu lama,” lanjut Gus Dur. “Belum lagi separatis RMS (Republik Maluku Sarani) yang bermarkas di Belanda, harus ada loby ke negara itu agar tak mendukung RMS. Juga negara lain yang punya kepentingan di Maluku,” kata Gus Dur kemudian. “Juga separatis Irian Barat Papua Merdeka, yang saya tahu binaan Amerika. Saya tahu anggota senat yang jadi penyokong Papua Merdeka, mereka membiayai gerakan separatis itu. Asal tahu saja, yang menyerang warga Amerika dan Australia di sana adalah desain mereka sendiri.” Kemudian Gus Dur menarik nafas berat, sebelum melanjutkan perkataan berikutnya. “Ini yang paling sulit, karena pusatnya di Israel. Maka, selain Amerika saya harus masuk Israel juga. Padahal waktu saya sangat singkat. Jadi mohon para kiai dan santri banyak istighatsah nanti agar tugas kita ini bisa tercapai. Jangan tangisi apapun yang terjadi nanti, karena kita memilih jadi pencegah yang tidak populer. Yang dalam Negeri akan diantemi sana-sini.” Sekonyong beliau berdiri, lalu menegaskan perkataan terakhirnya: “NKRI bagi NU adalah Harga Mati!” “Saya harus pamit karena saya ditunggu pertemuan dengan para pendeta di Jakarta, untuk membicarakan masa depan negara ini. Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...” tutup Gus Dur. Tanpa memperpanjang dialog, Gus Dur langsung pamit. Kita bubar dengan benak yang campur-aduk, antara percaya dan tidak percaya dengan visi Gus Dur. Antara realitas dan idealitas, bahwa Gus Dur dengan sangat tegas di hadapan banyak kiai bahwa dialah yang akan jadi presiden. Terngiang-ngiang di telinga kami dengan seribu tanda tanya. Menghitung peta politik, rasanya gak mungkin. Yang terkuat saat itu adalah PDIP yang punya calon mencorong Megawati putri presiden pertama RI yang menemukan momentnya. Kedua, masih ada Partai Golkar yang juga Akbar Tanjung siap jadi presiden. Di kelompok Islam modern ada Amien Rais yang juga layak jadi presiden, dan dia dianggap sebagian orang sebagai pelopor Reformasi. Maka kami hanya berpikir bahwa, rasional gak rasional, percoyo gak percoyo ya percoyo aja apa yang disampaikan Gus Dur tadi. Juga tentang tamsil rumah tebakar tadi. Sebagian besar hadirin agak bingung walau mantuk-mantuk karena gak melihat korelasinya NU dengan jaringan luar negeri. Sekitar 3 bulan kemudian, Subhanallah… safari ke luar ternyata Gus Dur benar-benar jadi Presiden. Dan Gus Dur juga benar-benar bersafari ke luar negeri seakan maniak plesiran. Semua negara yang disebutkan di PCNU Wonosobo itu benar-benar dikunjungi. Dan reaksi dalam negeri juga persis dugaan Gus Dur saat itu bahwa Gus Dur dianggap foya-foya, menghamburkan duit negara untuk plesiran. Yang dalam jangka waktu beberapa bulan sampai 170 kali lawatan. Luar biasa dengan fisik yang (maaf) begitu, demi untuk sebuah keutuhan NKRI. Pernah suatu ketika Gus Dur lawatan ke Paris (kalau kami tahu maksudnya kenapa ke Paris). Dalam negeri, para pengamat politik dan politikus mengatakan kalau Gus Dur memakai aji mumpung. Mumpung jadi presiden pelesiran menikmati tempat-tempat indah dunia dengan fasilitas negara. Apa jawab Gus Dur: “Biar saja, wong namanya wong ora mudeng atau ora seneng. Bagaimana bisa dibilang plesiran wong di Paris dan di Jakarta sama saja, gelap gak lihat apa-apa, koq dibilang plesiran. Biar saja, gitu aja koq repot!” Masih sangat teringat bahwa pengamat politik yang paling miring mengomentrai lawatan Gus Dur sampai masa Gus Dur lengser adalah Alfian Andi Malarangeng, mantan Menpora. Tentu warga NU gak akan lupa sakit hatinya mendengar ulasan dia. Sekarang terimalah balasan dari Tuhan. Satu-satunya pengamat politik yang fair melihat sikap Gus Dur, ini sekaligus sebagai apresiasi kami warga NU, adalah Hermawan Sulistyo, atau sering dipanggil Mas Kiki. terimakasih Mas Kiki. Kembali ke topik. Ternyata orang yang paling mengenal sepak terjang Gus Dur adalah justru dari luar Islam sendiri. Kristen, Tionghoa, Hindu, Budha dll. mereka tahu apa yang akan dilakukan Gus Dur untuk NKRI ini. Negeri ini tetap utuh minus Timor Timur karena jasa Gus Dur. Beliau tanpa memikirkan kesehatan diri, tanpa memikirkan popularitas, berkejaran dengan sang waktu untuk mencegah kebakaran rumah besar Indonesia. Dengan resiko dimusuhi dalam negeri, dihujat oleh separatis Islam dan golongan Islam lainnya, Gus Dur tidak perduli apapun demi NKRI tetap utuh. Diturunkan dari kursi presiden juga gak masalah bagi beliau walau dengan tuduhan yang dibuat-buat. Silakan dikroscek data ini. Lihat kembali keadaan beberapa tahun silam era reformasi baru berjalan, beliau sama sekali gak butuh gelar “Pahlawan" Sumber: Nur Cholis via muslimoderat.com

Share |

Buku Cerita Bawean