9:42 PTG
"Bunga teratai di tengah lautan". Begitulah perumpaan Pulau Bawean, yang letaknya berada di tengah-tengah Laut Jawa.Ombak menerjang, angin mengempas, hujan mengguyur, dan sinar matahari menyengat, namun pulau mungil yang berada di 80 mil sebelah utara Pelabuhan Gresik itu tetap tak tergoyahkan.Dulu Bawean dikenal dengan sebutan "Pulau Puteri" karena mayoritas penduduknya kaum perempuan. Kaum lelaki Bawean umumnya merantau ke negeri seberang.Tapi sekarang julukan Pulau Puteri sudah jarang terdengar, lantaran kaum hawa Bawean sudah banyak yang merantau pula ke luar negeri, bahkan sebagian diantaranya sudah menjadi penduduk tetap negeri jiran, seperti Malaysia dan Singapura.Budayawan Bawean, Cuk Sugrito, mengemukakan masyarakat Bawean dikenal teguh memegang tradisi dari nenek moyang termasuk perilakunya yang agamais.Ritual keagamaan yang menjadi tradisi Bawean, seperti perayaan Molod, Saksakbenan, Mamaleman Kanak-kanak, dan Silaturahmi Lahir Batin pada Lebaran Idul Fitri telah menciptakan rasa kebersamaan antar keluarga dan masyarakat Bawean.Ditinjau dari segi ekonomi, masyarakat Pulau Bawean boleh dikatakan di atas rata-rata, karena mayoritas penduduknya adalah kalangan perantau berhasil.Di Pulau Bawean tidak ada pengemis, gelandangan, anak jalanan, dan kaum penengadah lainnya, yang menghiba belas kasihan."Ini menunjukkan kentalnya kekerabatan antarmasyarakat di pulau ini. Bagi mereka yang punya rejeki akan membantu saudaranya yang kekurangan," kata pendiri Bengkel Seni Bheku Bhei-Bhei saat ditemui di kediamannya di sudut Alun-alun Sangkapura beberapa waktu lalu.Keluarga yang bekerja di tanah rantau menjadi penyangga hidup anggota keluarga yang tinggal di Pulau Bawean.Para perantau itu mampu mendirikan rumah dengan disain modern dengan bahan-bahan bangunan yang didatangkan dari Pulau Jawa. Mereka juga mampu membeli mobil dan sepeda motor dengan biaya mahal, karena harus menambah ongkos kapal untuk mengangkut menyeberangi lautan.Bahkan orang Bawean mampu menyulap jalan-jalan di pedesaan yang berbatu menjadi mulus dengan uang dari hasil memeras keringat di negeri orang.Kendati bergelimang harta benda tak ternilai, di Pulau Bawean tidak ada pencopet, pencuri, dan perampok profesional. Hampir setiap malam berbagai jenis kendaraan, seperti mobil dan sepeda motor dibiarkan berada di luar rumah dalam keadaan tak terkunci.Bahkan seorang perwira polisi dari Jawa yang baru bertugas di Pulau Bawean sempat dibuat terheran-heran ketika mendapati sebuah sepeda motor keluaran terbaru ditinggalkan oleh pemiliknya di pinggir jalan raya selama lima hari dan empat malam."Sepeda motor itu tetap berada di tempatnya, tidak berpindah sedikitpun, kecuali hanya ban depannya yang hilang," ujar anggota Polsek Sangkapura itu mengingat kejadian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.Demikian dengan berbagai jenis hewan peliharaan, seperti ayam, itik, domba, dan sapi bebas berkeliaran tanpa ada perasaan takut hilang yang menghinggapi pemiliknya."Sungguh hidup di Pulau Bawean ini bagaikan tidur berselimut kedamaian," kata Cuk Sugrito yang kedua orang tuanya berasal dari Jawa itu.Sangat masuk akal jika di pulau berpenduduk sekitar 69 ribu jiwa ini tidak ada penjahat, karena cepat atau lambat pelakunya pasti akan tertangkap lantaran luas pulau yang hanya sekitar 194,11 kilometer persegi dengan dikelilingi jalan lingkar sepanjang 55 kilometer.Apalagi jadwal perjalanan kapal penumpang dari Pulau Bawean menuju ke Pelabuhan Gresik hanya dua kali dalam seminggu dan kapal barang hanya satu kali dalam dua minggu."Jadi sangat tidak mungkin bagi penjahat yang hendak melarikan hasil kejahatannya ke luar Pulau Bawean. Apalagi ombak di sekitar Pulau Bawean relatif besar," kata Cuk Sugrito menduga-duga.Orang Bawean selalu menyapa pada siapa saja, terutama jika berpapasan di jalan. Terhadap orang yang belum dikenalinya, orang Bawean tidak segan-segan menyapanya terlebih dulu kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan daerah asal.Lebih lanjut Cuk Sugrito memaparkan, kendati Bahasa Bawean serumpun dengan Bahasa Madura, namun orang Bawean jauh berbeda dengan orang Madura.Di Pulau Bawean tidak ada Karapan Sapi, Tari Remo, nyanyian Tanduk Majeng, senjata tajam berupa celurit, dan identitas lain yang biasa melekat pada diri orang Madura.Kesenian yang berkembang di Pulau Bawean seperti Jibul, Tari Mandiling, Tari Saman, Korcak, Pencak Silat, Dikker, dan Kercengan justru lebih dekat dengan budaya Melayu.
Asal-usul Nenek Moyang
Bawean, Pulau Berselimut Damai
Lalu dari manakah asal-usul nenek moyang orang Bawean? Pemerhati sejarah Bawean, M Saleh berpendapat, dulu Pulau Bawean merupakan pulau tak bertuan karena memang tak ada penghuninya.
Para pedagang dari Palembang (Sumatera Selatan), Banjar (Kalimantan Selatan), dan Mandar (Sulawesi Selatan) dengan armada lautnya transit di Pulau Bawean sebelum memasuki Pulau Jawa.
"Hal ini dilakukan untuk menghindari cuaca laut yang buruk yang sering terjadi di sekitar perairan Bawean," kata pria yang tinggal di Desa Sungai Laut, Kecamatan Sangkapura, itu.
Namun versi lain, nenek moyang orang Bawean adalah para nelayan dari Pulau Madura yang berteduh sambil menunggu cuaca baik untuk melanjutkan pelayarannya.
"Mereka-mereka ini kemudian menetap di Pulau Bawean sehingga bahasa yang digunakan sehari-hari mirip dengan Bahasa Madura," ujarnya menambahkan.
Ada juga sejarah yang menyebutkan, bala tentara Majapahit dari Jawa sempat terombang-ambing di tengah Laut Jawa dan akhirnya menemukan sebuah pulau yang kemudian diberi nama Bawean yang berarti ada sinar matahari.
Penyebaran ajaran Islam pun di pulau ini dilakukan secara santun dan damai oleh Maulana Umar Mas'ud yang berasal dari Palembang, dengan bantuan beberapa ulama asal Madura sehingga yang bahasa yang digunakan sehari-hari adalah Bahasa Madura.
Namun tak bisa dilupakan pula sosok putri Maulana Ishaq, seorang wali dari Gresik, bernama Waliyah Zainab yang menyebarkan ajaran Islam melalui pesisir selatan Pulau Bawean, tepatnya di Desa Diponggo, Kecamatan Tambak.
Desa Diponggo merupakan satu-satunya desa di Pulau Bawean yang penduduknya hingga kini menggunakan Bahasa Jawa Kuno sebagai bahasa sehari-hari.
Belakangan terbetik kabar, bahwa makam Sunan Bonang, salah satu Walisongo yang menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, berada di pulau tersebut.
Mereka berkeyakinan sebuah makam yang persis berada di bibir pantai utara Pulau Bawean, tepatnya di Tambak, adalah tempat dikuburkannya jasad Sunang Bonang.
"Disini makam Sunang Bonang yang asli, sedang di Tuban hanyalah makam serbannya saja," kata Syaifur Rizal, salah seorang peziarah rutin makam tersebut.
Namun demikian, sejauh ini belum ada fakta sejarah yang mendukung keyakinan mayoritas warga masyarakat Pulau Bawean mengenai keberadaan makam Sunan Bonang itu.
Objek Wisata Andalan
Selain memiliki akar budaya masyarakat yang kuat, Pulau Bawean juga menyimpan potensi wisata alam yang tak kalah menarik dibandingkan dengan objek wisata di Pulau Jawa. Pulau Bawean dikelilingi beberapa pulau kecil, baik yang berpenghuni maupun tidak.
Di sebelah barat Pulau Bawean ada Pulau Gili Barat. Pulau ini hanya berjarak sekitar satu mil dari Pulau Bawean dan hanya dihubungkan dengan jembatan batu karang yang dibangun atas swadaya masyarakat. Gili Barat termasuk banyak dikunjungi orang karena terdapat pohon kelapa bercabang lima dan semuanya berbuah.
Kondisi jalan menuju Gili Barat pun tidak terlalu parah dan jaraknya hanya beberapa kilometer dari Sangkapura yang merupakan pusat aktivitas perekonomian masyarakat Pulau Bawean. Pulau ini juga dihuni ratusan kepala keluarga yang mayoritas pendatang dari Jawa.
Sedikit memutar jalan lingkar, tepatnya di sebelah timur Pulau Bawean terdapat Pulau Gili Timur. Untuk menuju pulau itu harus melalui Pamuna, sebuah dermaga kecil di tengah-tengah hutan bakau di Desa Sido Gedungbatu, Kecamatan Sangkapura.
Dari Pamuna itu jaraknya sekitar lima mil dan hanya dapat ditempuh dengan perahu "kelotok" yang beroperasi mulai pukul 06.00 hingga 11.00 WIB dengan tarif Rp5.000,00 untuk sekali jalan. Namun bila ingin menyewa sendiri perahu kelotok, tarifnya berkisar antara Rp50.000,00 hingga Rp75.000,00 pergi-pulang.
Wisatawan dapat menikmati keindahan pemandangan bawah air Pulau Gili Timur. Wisatawan bisa menikmati aneka hayati laut di sela-sela terumbu karang yang indah.
Hanya saja, saat ini keberadaan terumbu karang terancam kepunahan lantaran maraknya aktivitas pencarian ikan dengan menggunakan bahan kimia dan perburuan teripang.
Dalam perjalanan menuju Gili Timur, wisatawan bisa menyempatkan singgah sebentar di Pulau Pasir, yang semua permukaannya berupa hamparan pasir putih tak berpenghuni. Bila mana air laut sedang surut, hamparan pasir putih itu terlihat menyembul di tengah permukaan air laut.
Objek wisata lain yang tak kalah menariknya adalah Danau Kastoba yang berada di tengah-tengah Pulau Bawean, tepatnya di Desa Promaan, Kecamatan Tambak. Sayangnya, tidak semua jenis kendaraan bisa langsung menuju danau itu.
Kendaraan roda empat hanya bisa digunakan dari Sangkapura menuju Tanjung Ori. Selanjutnya dari Tanjung Ori menuju Promaan hanya bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua.
Dari Promaan menuju Danau Kastoba, wisatawan harus berjalan kaki sekitar satu kilometer dengan medan yang menanjak. Danau Kastoba berada di tengah-tengah hutan yang rindang dan ramai oleh kicau burung dari berbagai jenis. Daya tarik Danau Kastoba adalah airnya yang jernih dan segar serta dapat langsung diminum tanpa dimasak terlebih dahulu. Selain untuk melepas kepenatan, wisatawan dapat menghabiskan waktu di Danau Kastoba itu dengan memancing ikan.
Bagi penggemar satwa, tidak akan kehilangan momen pentingnya di Pulau Bawean dengan mendatangi Gunung Gadung. Di kawasan perbukitan yang berjarak sekitar 11 kilometer dari Sangkapura itu, terdapat sebuah penangkaran rusa.
Rusa Bawean tergolong spesies "Axis Kuhlii" dan merupakan satwa endemik Pulau Bawean. Terbatasnya habitat asli mereka, yakni seluas Pulau Bawean yang hanya 194,11 kilometer persegi menjadikan Rusa Bawean sebagai satu-satunya rusa di dunia yang sangat terisolasi (Gono Semiadi, 2004).
Dalam catatan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) populasi Rusa Bawean termasuk dalam kategori "Threatened", alias terancam punah.
Oleh sebab itu Menteri Pertanian pada 5 Desember 1979 menerbitkan Surat Keputusan nomor 76/Kpts/Um/12/1979 yang menyebutkan beberapa habitat Rusa Bawean di Pulau Bawean telah ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa pada lahan seluas 3.831,6 hektare dan Cagar Alam pada lahan 725 hektare.
Dengan tinggi badan 60 cm sampai 70 cm, panjang badan 105 cm sampai 115 cm, berat badan sekitar 50 kg, dan panjang ekor sekitar 20 cm, Rusa Bawean merupakan jenis rusa terkecil dibandingkan dengan tiga spesies rusa yang ada di Indonesia, yakni Rusa Sambar (Cervus Unicolor), Rusa Timor (Crevus Timorensis), dan Muncak (Muntiacus Muntjak).
Bulu Rusa Bawean relatif pendek berwarna cokelat disertai warna putih pada bagian lipatan di dalamnya. Namun ciri istimewa pada Rusa Bawean ini adalah memiliki gigi taring pada bagian rahang bawah dan jalur terang atau putih yang melingkar di sekitar mata.
Diduga nenek moyang Rusa Bawean terpisah dari kerabatnya ketika daratan Sunda terpisah akibat naiknya permukaan laut (Bemmel, 1953). Dugaan lain, nenek moyang Rusa Bawean ini mencapai Pulau Bawean melalui daratan yang disebut Celebes Bridge dari Filipina (Bemmel, 1944).
Rusa Bawean untuk pertama kali teramati sebagai jenis satwa baru oleh Solomon Muller pada 1836 di daerah Tuban. Saat itu rusa tersebut dipelihara di halaman rumah milik seorang pejabat daerah setempat yang berkebangsaan Indonesia.
Kelestarian Rusa Bawean ini kemudian mulai terusik sekitar tahun 1948 ketika terjadi bencana kelaparan. Masyarakat Bawean, yang biasanya berlayar dan mencari ikan di laut dengan aktivitas berburu dan berladang sebagai kegiatan sambilan, mengubah pola hidupnya menjadi pemburu penuh guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selain itu gangguan terberat Rusa Bawean sebenarnya mulai terjadi sekitar tahun 1934, ketika proses penggundulan hutan dilakukan untuk diubah menjadi kawasan hutan produksi jati. Hal ini kembali terjadi pada era 1960-an.
Catatan resmi IUCN pada 1979 di habitat asli Rusa Bawean diperkirakan mencapai 400 ekor dan yang tersebar dalam penangkaran Kebun Binatang Surabaya dam kebun binatang di Singapura tercatat mencapai 102 ekor.
Hingga akhir 1998 setidaknya ada 225 ekor Rusa Bawean yang tersebar di kebun binatang di Indonesia, termasuk di Taman Safari dan daerah-daerah lain, seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Blitar, Surabaya, dan Mataram. Sedangkan di luar negeri, Rusa Bawean dilaporkan berada di kebun binatang Australia, Jerman, Amerika Serikat, dan Singapura.
Sayangnya, untuk menuju Gunung Gadung harus menggunakan kendaraan sejenis trail milik petugas jagawana Perum Perhutani. Medannya yang menanjak dengan derajat kemiringan tertentu mengakibatkan jalan menuju ke lokasi penangkaran itu licin.
Bawean merupakan pulau yang menyimpan sejuta potensi, mulai dari sektor ekonomi, perikanan, pariwisata, hingga masyarakat yang menjunjung tinggi tradisi dan budaya mereka. Untuk menuju Pulau Bawean pun tidak sulit apalagi sekarang ada kapal cepat yang membutuhkan waktu tempuh 3,5-4,5 jam dari Gresik.
Setidaknya dari Pelabuhan Gresik ada tiga kali jadwal pelayaran kapal cepat dalam sepekan, yakni setiap Sabtu, Senin, dan Rabu. Begitu juga sebaliknya dari Pelabuhan Sangkapura, Pulau Bawean, kapal cepat itu kembali ke Gresik setiap Ahad, Selasa, dan Kamis.
Tiket yang ditawarkannya pun beragam mulai dari kelas ekonomi, eksekutif, hingga VVIP dengan harga yang relatif terjangkau.
Pulang dari Bawean pun wisatawan masih bisa membawa oleh-oleh aneka ragam makanan khas pulau itu yang rata-rata berbahan hasil laut. Selain itu, Bawean juga terkenal dengan kerajinan tangan berupa tas, tikar, sajadah, dan hiasan dinding dari anyaman daun pandan. Ayo ke Bawean, tunggu apa lagi??? Read more...
0 komentar:
Catat Ulasan