BANYAK sekali yang antri ingin bertemu dengan camat, bupati, gubernur ataupun presiden seakan moment pertemuan itu adalah anugerah bersejarah yang bisa menularkan kehormatan dan bahkan kekayaan.
Masih banyakkah rakyat Indonesia yang antri untuk bertemu dengan Tuhannya yang bukan hanya Pemilik segala semesta melainkan juga yang mengatur hidup dan kehidupannya? Pertanyaan ini menjadi penting untuk melihat komparasi rating urusan fisik dan urusan psikis, jasmani dan ruhani, serta posisi dunia dan akhirat dalam worldview anak bangsa.
Pertemuan dengan Tuhan tidaklah sulit, setiap saat pintu dibuka lebar untuk menerima segala aduan dan permohonan hambaNya. Persiapannya pun tidaklah banyak, melainkan hanya ketulusan hati sebagai hamba dan pengakuan ikhlas atas ketuhananNya.
Jaminan keterkabulan doa sudah diberitakan secara resmi dalam teks kitab suci yang tidak akan pernah mengalami abrogasi. Lebih dari itu, reward pahala berupa kebahagian dunia dan akhirat juga menjadi maklumat yang menyebar melalui semua media dakwah.
Pertanyaannya adalah mengapa antrian berjumpa dengan Tuhan tidaklah sesemarak antrian bertemu dengan makhluk Tuhan yang kebetulan dititipi anugerah duniawi sesaat? Mengapa kita malas dan bosan bertemu dengan Tuhan?
Jawaban atas pertanyaan ini bisa jadi beragam mulai dari alasan kegagalan dakwah, terlalu banyaknya godaan-godaan kehidupan, ketidakberimbangan porsi pendidikan agama dan pendidikan umum sampai pada alasan menyebarnya paham athesisme dan runtuhnya semangat beragama.
Apapun alasannya, rasa butuh kepada Tuhan harus senantiasa ditumbuhkan di hati anak bangsa dan dikembangkan secara maksimal. Bukan hanya ajaran agama yang meyakinkan urgensinya hal itu, saat ini dunia akademik secara ilmiah meyakinkan bahwa hubungan posisitif antara beragama dengan kebahagiaan dan keteraturan hidup bukanlah sebuah misteri lagi.
Sarjana masa lalu sebelum munculnya Sigmund Freud sampai setengah abad pasca Freud masih menuding agama sebagai racun ataupun penyakit yang harus dijauhi. Namun sarjana kontemporer yang mulai lebih intensif mengkaji ajaran-ajaran agama dan potret sosial masyarakat beragama secara tegas mengakui besarnya peran agama dalam mendesain tatanan masyarakat yang lebih bahagia.
Contoh yang terang benderang peran posistif agama dalam penataan masyarakat adalah Nabi Muhammad dengan risalah Islam yang telah mampu secara evolusioner menggeser perilaku liar, barbar, dan primitif menjadi perilaku santun, sopan dan beradab.
Sepuluh tahun masa dakwah di Mekah difokuskan pada penanaman nilai Tauhid dan tiga belas tahun di masa Madinah difokuskan pada penjabaran nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Hal ini bermakna bahwa kebertuhanan menjadi modal utama dan pondasi dasar terbangunnya pilar sosial kemasyarakatan.
Kebertuhanan atau keberagamaan yang mampu mengubah perilaku adalah keberagamaan yang bukan hanya pengetahuan agama yang bersarang di “kepala” melainkan keyakinan yang mengakar dalam setiap sendi kehidupan.
Kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan rapuh ketika kelompok dan keluarga yang ada dalam negara memiliki kepribadian yang juga rapuh. Kelompok dan keluarga juga akan rapuh manakala pribadi-pribadi dalam kelompok dan keluarga tersebut memiliki kepribadian yang rapuh.
Teguhnya kepribadinan tiap anak bangsa sungguh menjadi modal utama untuk berevolusi menjadi lebih baik. Penanaman nilai-nilai agama harus kembali diperhatikan secara serius, era “robohnya surau kami” harus segera diakhiri dan berganti dengan era “dibangunnya kembali surau kami.”
Berita tentang moral remaja yang “melawan” atau bertentangan dengan kearifan lokal dan kepatutan agama yang setiap saat muncul di berbagai macam media, kabar dan gossip tentang ambruknya etika politik bangsa yang ditandai dengan maraknya korupsi menjadi salah satu warning bagi bangsa dan penduduk negara ini.
Demikian pula pudarnya asas kekeluargaan, persaudaraan dan tradisi gotong royong karena perseteruan politik merupakan alarm bahaya yang mengingatkan kita bahwa bangunan nilai yang menjadi pondasi karakter kebangsaan sudah mulai rapuh dan perlu diperkuat kembali.
Secanggih apapun pilar-pilar yang akan dibangun dan sehebat apapun karakter kebangsaan yang ramai diseminarkan akan dipancang, ia hanya akan menjadi berita penghibur sesaat yang tidak akan bertahan lama.
Krisis moral dan keinginan untuk bangkit dari keterpurukan harus dimulai dari kemauan untuk memilih (choose) petunjuk yang benar dari berbagai tawaran pilihan (options) yang ada di depan kita. Harus ada keberanian untuk memutuskan (decide) pilihan yang akan dijadikan panduan untuk keluar dari kiris (crisis) itu.
Crisis berasal dari bahasa Yunani, krisis, derivasi dari krino krino yang berarti memutuskan. Pilihan yang baik adalah pilihan yang mencerahkan (al-mustanirah, menuju enlighment, aufklarung). Pilihan untuk membangkitkan kembali nilai-nilai agama adalah pilihan yang mencerahkan, begitu kata para pakar agama yang secara optimistik melihat abad ini adalah abad resurgensi agama.
Mesipun demikian, keyakinan bahwa abad 21 adalah era perubahan modial agama. Agama dan spiritualisme akan menemukan titik kejayaannya karena pendulum kehidupan masyarakat dunia akan berubah arah ke kanan setelah sekian lama bergerak ke kiri. Pada akhirnya, berhadapan dengan kenyataan persaingan ketat ekonomi dunia, perubahan peta politik dan ekonomi, dan benturan budaya yang dalam beberapa hal turut “menguburkan” impian kejayaan kembali agama.
Lebih dari itu, munculnya teknologi informasi baru yang menggurita ke seluruh pelosok dunia dengan skala dan volume yang rata tetapi kesiapan mental masyarakat yang berbeda juga menjadi pesaing berat upaya menanamkuatkan nilai agama.
Gelombang perkembangan masyarakat, meminjam tipologi Alvin Tofler, bergerak dari masyarakat agraris (gelombang pertama), ke masyarakat industrial (gelombang kedua), menuju masyarakat informasi (gelombang ketiga).
Cepat dan tingginya teknologi informasi seperti yang kita saksikan saat ini barangkali cocok bagi mereka yang sudah menjalani kelombang kedua (industrial) dan ketiga (informasi). Tetapi pada kenyataannya masyarakat agraris pun yang memiliki kesiapan mental dan budaya yang berbeda memiliki kesempatan yang sama mengakses dan menikmati kebebasan informasi tanpa batas ini.
Indonesia, kata almarhum, Nurcholis Madjid, mengalami ketumpangtindihan gelombang ini, yakni ketiga gelombang ini sama-sama ada dan menghadapi hal sama secara bersama-sama sehingga mudah muncul perilaku masyarakat yang ambivalen, anomali, galau dan menyimpang.
Solusi mendasar keluar dari permasalahan di atas dalam konteks pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bervisi mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat adalah meneguhkan kembali komitmen kebangsaan dengan mengintensifkan kembali penanaman nilai-nilai Pancasila.
Tentunya, untuk semua warga negara, baik pelajar dan mahasiswa, lebih-lebih wakil rakyat dan pejabat negara sebagai teladan. Jangan lupakan urgensi pendidikan dan pengamalan agama, karena ia merupakan pokok dari sila pertama Pancasila.
0 komentar:
Catat Ulasan