SEJAK kapal Penumpang Express Bahari 8B didekat perairan Pulau Bawean akibat dihantam ombak bulan lalu, Bawean menjadi pulau terisolasi dan merana dalam derita. Transportasi laut dari dan menuju pulau yang masuk wilayah Kabupaten Gresik tersebut praktis mandek. Bahan-bahan kebutuhan pokok jadi langka dan spekulanpun bermain, menjadikan harga-harga melambung tinggi.
Bahan bakar minyak (BBM) juga langka dan mahal sehingga banyak orang harus berjalan kaki saat bekerja. Ini di tambah persoalan listrik yang selama bertahun-tahun belum juga terpecahkan. Sehari hidup dan sehari mati. Produktivitas Bawean pun menukik hingga titik nadir.
Riuh derita Pulau Bawean tersebut tidak hanya berlaku di wilayah (domain) fisik, tetapi juga hingga wilayah komunikasi publik (public discourse) melalui laporan berbagai media. Keriuhan fisik ditandai masih semrautnya upaya-upaya penanggulangan dan penanganan berbagai masalah yang membelit Rakyat Bawean. Perhatian pemerintah daerah dan instansi-instansi lain dianggap belum memadai. Persoalan arus logistik sejauh ini masih sekedah menjadi berita. Sementara kericuhan diskursus public ditandai pentas komunikasi politik antara suprastruktur politik (pemerintah daerah) dan infrastruktur politik (masyarakat Bawean serta LSM) yang semakin tidak logis.
Ketika sebagian besar masyarakat Bawean melontarkan pesan bahwa pemerintah daerah kurang tanggap dan peduli akan penderitaan yang mereka alami, para pejabat pemerintah daerah justru saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab. Ujung-ujungnya, "ketidakpastian alam" (gelombang dan badai) menjadi kambing hitam.
Dalam bahasa Mikhail Bakhtin, kericuhan komunikasi politik tersebut sesungguhnya hanya melahirkan sebuah entitas komunikasi politik yang "mati" (banality of communications) dalam analog yang sederhana, pemerintah agaknya memang sengaja tengah melakukan ritual "banalitas" komunikasi politik. Banalitas komunikasi dalam upaya mengatasi masalah Bawean ini bisa kita lihat dalam beberapa kategori.
Pertama, putusnya jaringan komunikasi diantara para pemegang kepentingan (stakeholder). Seperti banyak diberitakan media, tidak seorangpun pejabat pemerintah yang berfokus dan berkonsentrasi betul mengambil tanggung jawab dalam menangani persoalan bawean dari segi transportasi, sembako, BBM, hingga listrik.
Tidak ada satupun representasi "sosok" pemerintah yang terlihat memperluas jaringan komunikasi dalam upaya penyelesaikan persoalan atau sekedar memahami derita masyarakat Bawean. Memahami ekpresi batin dan kondisi obyektif khalayak adalah syarat mutlak komunikasi politik yang dialogis.
Para aktor suprastruktur politik "diam" bukan untuk berintospeksi, melainkan lebih untuk bersembunyai dari berbagai pertanyaan dan tanggung jawab yang mungkin muncul. Hal ini tampak sekali dalam berbagai argumen para aktor suprastruktur politik di daerah maupun provinsi, yakni semua persoalan ini menjadi persoalan bersama. Itu saja.
Kedua, tidak ada pertemuan fisik antara suprastruktur dan infra struktur, antara pejabat dan masyarakat bawean, trerutama dalam kegiatan-kegiatan fisik dalam upaya mengatasi masalah. Tidak ada pembenahan dan penanganan bersifat fisik baik dalam arti kompleks maupun sederhana dan sendiri maupun bersama-sama sehingga persoalan bisa dikurangi satu persatu.
Betapa tidak komunikatifnya teks ini ketika rakyat bahu-membahu berusaha mengatasi persoalan sendiri, misalnya rela menanggung dan berusaha untuk mengatasi suplai listrik seperti yang terjadi selama ini. Kalangan pemerintah daerah justru saling menuding mencari kambing hitam.
Ketiga, kekosongan komunikasi. Dalam semua kericuhan yang terjadi, bukankah tidak sedikitpun bentuk alternatif penyelesaian yang mencerahkan ditawarkan pemerintah? Pemerintah justru terjebak dalam kegelapan yang menjadikannya tidak (mau) bias berbuat apa-apa. Maka, suasana transaksi komunikasi yang memuaskan kedua pihak tidak pernah lahir. Yang ada hanyalah pentas komunikasi politik yang terus dan terus melahirkan kesalah pahaman serta kemuakan (disturbing communications). Dan, Bawean pun masih saja terus merana dari tahun ketahun, dari kepemimpinan satu ke kepemimpinan lain.
Melihat kericuhan tersebut, pola komunikasi intersubyektif mesti segera dikembangkan untuk segera mengatasi derita Bawean. Suprastruktur harus memahami benar apa subyektivitas (akar persoalan yang menjadi derita masyarakat Bawean). Dan sebaliknya, infrastruktur (masyarakat) mesti memahami segala keterbatasan yang tidak mungkin dijangkau pemerintah daerah. Inilah yang tidak pernah dicari dan dipahami masing-masing subyek selama ini. Maka, yang lahir adalah kemarahan yang tidak bertemu dalam ruang.
Realitas semacam ini tidak saja akan melahirkan apatisme komunikasi politik, tetapi juga yang lebih dahsyat dari itu, yakni destruktivitas komunikasi politik ketika public berbicara ke suprastruktur politik dengan pesan-pesan kebrutalan dan kekerasan. Maka, sangat strategis jika pemerintah kembali membakar api semangat untuk menyelesaikan persoalan, bekerja keras dengan elemen terkait, mengunjungi sentra-sentra masalah, dan pada akhirnya dapat bekerja bersama dalam suasana antar subyektif yang komunikatif. Semoga Bawean segera lepas dari derita panjang.