Hari Raya menurut anak-anak
Baju baru, sepatu baru, renda baru, semua serba baru. Ada balon dan marcon. Dikasih jajan banyak dan bisa bermain sepanjang hari kemana pun, tak dilarang seperti kemarin. Hari raya selalu ditunggu. Si anak merasa malam hari raya adalah malam terpanjang selama hidupnya, karena ia ingin segera pagi dan pakai pakaian baru lalu pergi bermain dengan teman-teman sampai malam. Indahnya hari raya itu.
Hari Raya Para Remaja
Dalam menyambut hari raya, para remaja kita sedikit berbeda dengan anak-anak. Selain baju baru, remaja punya kesenangan lain. Misalnya, bagi yang punya kenderaan, mencari kesempatan balap liar. Berkumpul dan pergi beramai-ramai ke tempat rekreasi. Selain itu, para remaja mulai menyukai lawan jenis. Hari raya yang sekolah dan lainnya libur, menjadi kesempatan bertemu siapa saja. Itu disebut para remaja kita yang konon Islam itu dengan hariraya puasa. Tentu saja ada yang sesuai syariat, kendati dapat dihitung jari.
Hari Raya para gadis kampung
Di sebuah kampung, para gadis menyambut hari raya dengan mandi kembang. Sebelum hari itu mereka berkelana ke tempat teman temannya, mencari empat puluh macam bunga. Para gadis itu merendam bunga dan airnya disiram ke tubuh mereka sebagai air terakhir mandi hari raya. Kalau tak ada air bunga, bagi para gadis itu, bukanlah hari raya. Para perempuan dewasa pun sama dengan para gadis. Tanpa mandi air bunga di padi hari raya, tidaklah lengkap perayaan.
Hari Raya para murid
Hari Raya para murid beuet adalah datang ke rumah guru membawa sepiring kue dan oleh-oleh lain. Pergi bersama teman teman. Di rumah guru mereka bercanda beberapa saat, mencium tangan guru, lalu pamit. Setelah itu baru ke rumah saudara sekampung dan jauh.
Hari Raya masyarakat ekonomi lemah
Hari Raya bagi orang ekonomi kurang kuat adalah sebuah bencana. Mereka harus berfikir seratus kali lebih kuat untuk memenuhi kebudayaan kampung, harus beli dua pasang baju baru untuk anak-anaknya. Sedangkan makan saja harus diirit. Namun budaya tak peduli kemampuan pengikutnya.
Hari Raya para perantau
Pulang kampung! Begitulah yang terbersit di hati para perantau bila kita sebut hari raya di hadapannya. Pulang kampung bertemu orang tua dan kerabat lainnya. Budaya mudik hanya ada di Negeri Kepuluan ini. Sebagian besar penduduk ibukota, baik ibukota Negara, provinsi, kabupaten, adalah pendatang dari kampung. Makanya kota itu adalah kampung juga. Bagi perantau yang belum punya kemampuan pulang, pastilah bersedih, tak bisa pulang. Ia takkan pulang bila tak bisa membawa oleh-oleh buat orang terdekatnya di kampung.
Hari Raya para pedagang pakaian
Bagi para pedagang pakaian, hari raya adalah panen. Harga pakaian dinaikkan. Mereka tahu, kendati mahal, orang mesti beli baju baru, karena orang sedang hidup dalam budaya, hari raya harus ada baju baru, entah dari mana budaya itu berasal.
Begitulah corak kita menyambut hariraya ini. Tentu beda sekali dengan yang diharapkan agama. Ada juga yang sesuai tuntunan, kendati sedikit.
Semua fenomena yang terjadi, ini adalah pengembangan dari sebuah budaya yang disunnahkan. Kendati kini berbeda jauh dari yang sebenar diingini. Di hari raya dikenal dengan mengadakan pangan berbagai corak. Makanan itu kebanyakan banyak mengandung gula. sehingga banyak yang tyerkena penyakit diabetes.
Makanan yang biayanya tergolong mahal itu, bila ditinjau dari segi kesehatan, tidak satu pun yang dapat menyehatkan setelah dimakan. Malah menimbulkan kekacauan pencernaan. bisa saja terjadi. Namun itulah budaya kita, budaya yang tak pernah kita pertanyakan baik buruknya.
Jika mau usil, kita bisa saja melihat keanehan sebagaimana telah disebutkan tadi, namun keanehan sesekali diperlukan, agar pikiran segar. Dalam hal berhari raya, kalau kita mau jujur, bila ditinjau dari asal muasal hari raya Idul Fitri ini dianjurkan, kita telah jauh dari amaran itu. Hari ini, kita merayakan Idul Fitri hanya sebagi pesta yang tak bermakna lagi. Bagaimana hari raya fitri bermakna, jika puasa ramadhan tak kita pelihara. Tentu ada juga yang sempurna puasanya.
Fenomena
Lepas dari segala teori dan alasan Idul Fitri ini dicetusikan. Hari raya menjadi hal menakutkan. Hari raya menjadi beban bagi sebagian besar masyarakat kita.iBeban itu terjadi karena pengembangan budaya, yang bergeser sedikit demi sedikit sejak ratusan tahun silam. Bisalah dibayangkan, suatu hal yang bergeser ratusan tahun apakah masih dekat dengan asalnya? Tentu saja tidak.
Hari raya yang kita rayakan sekarang hanyalah budaya warisan. Amat jauh tergelincir dari yang diamanatkan. Jika mau jujur, sebagian besar masyarakat kita tak pantas merayakan Idul Fitri. Orang yang puasanya kacau, orang yang kacau tarawihnya, dan tidak melakukan segala sunnah lain dalam ramadhan, tidaklah pantas merayakan hari raya Idul Fitri. Lagi pula, bagaimana kita merayakan Idul Fitri?
Kini, kita merayakan Idul Fitri dengan membuat makanan banyak. Membeli pakaian baru yang banyak juga. Sementara yang dianjurkan tidak kita lakukan. Lihat sendiri, berapa orang yang ikut bertakbir. Dan apakah kita sendiri ikut takbiran? Anak-anak bakar marcon seperti penduduk Tionghoa. Dan orang tuanya tak melarang budaya import itu.
Shalat ‘Ied
Shalat ied pun tak jauh dari yang tersebut tadi. Hanya berapa orang yang patuhi isi khutbah khatib, dan menjalankannnya selepas mendengar ceramah itu. Ah, tak baik mencela.
Apapun yang terjadi, merayakan hari raya Idul Fitri adalah budaya turun temurun terserah bagaimana merayakannya, yang penting hari raya itu harus dirayakan. daripada Idul Fitri tak dirayakan, lebih baik dirayakan, kendati dengan cara yang salah. Daripada tak ada hariraya, lebih baik ada, meski dengan kedatangannya banyak orang ketakutan, karena harus cicil uang untuk baju baru.
Baju baru, sepatu baru, renda baru, semua serba baru. Ada balon dan marcon. Dikasih jajan banyak dan bisa bermain sepanjang hari kemana pun, tak dilarang seperti kemarin. Hari raya selalu ditunggu. Si anak merasa malam hari raya adalah malam terpanjang selama hidupnya, karena ia ingin segera pagi dan pakai pakaian baru lalu pergi bermain dengan teman-teman sampai malam. Indahnya hari raya itu.
Hari Raya Para Remaja
Dalam menyambut hari raya, para remaja kita sedikit berbeda dengan anak-anak. Selain baju baru, remaja punya kesenangan lain. Misalnya, bagi yang punya kenderaan, mencari kesempatan balap liar. Berkumpul dan pergi beramai-ramai ke tempat rekreasi. Selain itu, para remaja mulai menyukai lawan jenis. Hari raya yang sekolah dan lainnya libur, menjadi kesempatan bertemu siapa saja. Itu disebut para remaja kita yang konon Islam itu dengan hariraya puasa. Tentu saja ada yang sesuai syariat, kendati dapat dihitung jari.
Hari Raya para gadis kampung
Di sebuah kampung, para gadis menyambut hari raya dengan mandi kembang. Sebelum hari itu mereka berkelana ke tempat teman temannya, mencari empat puluh macam bunga. Para gadis itu merendam bunga dan airnya disiram ke tubuh mereka sebagai air terakhir mandi hari raya. Kalau tak ada air bunga, bagi para gadis itu, bukanlah hari raya. Para perempuan dewasa pun sama dengan para gadis. Tanpa mandi air bunga di padi hari raya, tidaklah lengkap perayaan.
Hari Raya para murid
Hari Raya para murid beuet adalah datang ke rumah guru membawa sepiring kue dan oleh-oleh lain. Pergi bersama teman teman. Di rumah guru mereka bercanda beberapa saat, mencium tangan guru, lalu pamit. Setelah itu baru ke rumah saudara sekampung dan jauh.
Hari Raya masyarakat ekonomi lemah
Hari Raya bagi orang ekonomi kurang kuat adalah sebuah bencana. Mereka harus berfikir seratus kali lebih kuat untuk memenuhi kebudayaan kampung, harus beli dua pasang baju baru untuk anak-anaknya. Sedangkan makan saja harus diirit. Namun budaya tak peduli kemampuan pengikutnya.
Hari Raya para perantau
Pulang kampung! Begitulah yang terbersit di hati para perantau bila kita sebut hari raya di hadapannya. Pulang kampung bertemu orang tua dan kerabat lainnya. Budaya mudik hanya ada di Negeri Kepuluan ini. Sebagian besar penduduk ibukota, baik ibukota Negara, provinsi, kabupaten, adalah pendatang dari kampung. Makanya kota itu adalah kampung juga. Bagi perantau yang belum punya kemampuan pulang, pastilah bersedih, tak bisa pulang. Ia takkan pulang bila tak bisa membawa oleh-oleh buat orang terdekatnya di kampung.
Hari Raya para pedagang pakaian
Bagi para pedagang pakaian, hari raya adalah panen. Harga pakaian dinaikkan. Mereka tahu, kendati mahal, orang mesti beli baju baru, karena orang sedang hidup dalam budaya, hari raya harus ada baju baru, entah dari mana budaya itu berasal.
Begitulah corak kita menyambut hariraya ini. Tentu beda sekali dengan yang diharapkan agama. Ada juga yang sesuai tuntunan, kendati sedikit.
Semua fenomena yang terjadi, ini adalah pengembangan dari sebuah budaya yang disunnahkan. Kendati kini berbeda jauh dari yang sebenar diingini. Di hari raya dikenal dengan mengadakan pangan berbagai corak. Makanan itu kebanyakan banyak mengandung gula. sehingga banyak yang tyerkena penyakit diabetes.
Makanan yang biayanya tergolong mahal itu, bila ditinjau dari segi kesehatan, tidak satu pun yang dapat menyehatkan setelah dimakan. Malah menimbulkan kekacauan pencernaan. bisa saja terjadi. Namun itulah budaya kita, budaya yang tak pernah kita pertanyakan baik buruknya.
Jika mau usil, kita bisa saja melihat keanehan sebagaimana telah disebutkan tadi, namun keanehan sesekali diperlukan, agar pikiran segar. Dalam hal berhari raya, kalau kita mau jujur, bila ditinjau dari asal muasal hari raya Idul Fitri ini dianjurkan, kita telah jauh dari amaran itu. Hari ini, kita merayakan Idul Fitri hanya sebagi pesta yang tak bermakna lagi. Bagaimana hari raya fitri bermakna, jika puasa ramadhan tak kita pelihara. Tentu ada juga yang sempurna puasanya.
Fenomena
Lepas dari segala teori dan alasan Idul Fitri ini dicetusikan. Hari raya menjadi hal menakutkan. Hari raya menjadi beban bagi sebagian besar masyarakat kita.iBeban itu terjadi karena pengembangan budaya, yang bergeser sedikit demi sedikit sejak ratusan tahun silam. Bisalah dibayangkan, suatu hal yang bergeser ratusan tahun apakah masih dekat dengan asalnya? Tentu saja tidak.
Hari raya yang kita rayakan sekarang hanyalah budaya warisan. Amat jauh tergelincir dari yang diamanatkan. Jika mau jujur, sebagian besar masyarakat kita tak pantas merayakan Idul Fitri. Orang yang puasanya kacau, orang yang kacau tarawihnya, dan tidak melakukan segala sunnah lain dalam ramadhan, tidaklah pantas merayakan hari raya Idul Fitri. Lagi pula, bagaimana kita merayakan Idul Fitri?
Kini, kita merayakan Idul Fitri dengan membuat makanan banyak. Membeli pakaian baru yang banyak juga. Sementara yang dianjurkan tidak kita lakukan. Lihat sendiri, berapa orang yang ikut bertakbir. Dan apakah kita sendiri ikut takbiran? Anak-anak bakar marcon seperti penduduk Tionghoa. Dan orang tuanya tak melarang budaya import itu.
Shalat ‘Ied
Shalat ied pun tak jauh dari yang tersebut tadi. Hanya berapa orang yang patuhi isi khutbah khatib, dan menjalankannnya selepas mendengar ceramah itu. Ah, tak baik mencela.
Apapun yang terjadi, merayakan hari raya Idul Fitri adalah budaya turun temurun terserah bagaimana merayakannya, yang penting hari raya itu harus dirayakan. daripada Idul Fitri tak dirayakan, lebih baik dirayakan, kendati dengan cara yang salah. Daripada tak ada hariraya, lebih baik ada, meski dengan kedatangannya banyak orang ketakutan, karena harus cicil uang untuk baju baru.
Published with Blogger-droid v1.7.4